BENGKELSASTRA.COM – Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Iran kembali memanas setelah serangan militer AS terhadap fasilitas strategis Iran, yang diduga terkait dengan program nuklir dan aktivitas militer di kawasan Timur Tengah. Insiden ini tidak hanya memicu kekhawatiran akan potensi perang skala penuh, tetapi juga membawa dampak langsung terhadap pasar global—terutama pada harga minyak dan bursa saham internasional.
Lonjakan Harga Minyak Global
Serangan AS terhadap Iran menyebabkan lonjakan harga minyak mentah yang signifikan. Iran merupakan pemain penting dalam pasar energi global, baik secara langsung melalui ekspor minyak maupun secara tidak langsung karena pengaruhnya di Selat Hormuz—jalur pelayaran strategis tempat lebih dari 20% pasokan minyak dunia melintas. Ketika ketegangan meningkat, kekhawatiran atas gangguan pasokan minyak pun muncul, mendorong harga minyak Brent dan WTI naik tajam dalam waktu singkat.
Pada hari serangan, harga minyak melonjak lebih dari 6% dalam perdagangan intraday. Investor dan pelaku industri khawatir Iran dapat membalas dengan menutup akses Selat Hormuz atau melakukan sabotase terhadap infrastruktur energi negara lain di kawasan Teluk. Ketidakpastian ini mendorong spekulasi pasar dan meningkatkan permintaan terhadap aset energi.
Inflasi dan Tekanan Harga Energi
Kenaikan harga minyak yang drastis menimbulkan kekhawatiran terhadap inflasi global, terutama di negara-negara importir energi. Biaya energi yang lebih tinggi cenderung berdampak luas pada sektor transportasi, produksi, dan distribusi barang. Dalam konteks ini, lonjakan harga minyak bisa mendorong lonjakan harga barang konsumsi secara umum, memperburuk tekanan inflasi yang sudah dirasakan di berbagai negara sejak pandemi COVID-19 dan konflik Rusia-Ukraina.
Bank sentral di beberapa negara, termasuk Federal Reserve AS dan Bank Sentral Eropa, menghadapi dilema baru: apakah harus melanjutkan kebijakan pengetatan moneter untuk melawan inflasi atau mulai mempertimbangkan pelonggaran jika gejolak pasar terlalu tajam. Di negara berkembang, risiko stagflasi—kombinasi antara inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi lemah—juga semakin nyata.
Respons Pasar Saham
Bursa saham global menunjukkan reaksi negatif setelah serangan tersebut. Indeks utama seperti S&P 500, Dow Jones, dan Nasdaq mencatatkan penurunan signifikan di tengah kekhawatiran eskalasi konflik militer yang lebih luas. Investor cenderung menarik diri dari aset-aset berisiko dan beralih ke aset safe haven seperti emas, obligasi pemerintah AS, dan mata uang seperti franc Swiss dan yen Jepang.
Sektor-sektor tertentu mengalami dampak yang lebih besar dibandingkan yang lain. Saham maskapai penerbangan, perusahaan logistik, dan manufaktur terpukul akibat kekhawatiran lonjakan biaya bahan bakar. Sebaliknya, saham perusahaan energi, terutama yang bergerak di sektor minyak dan gas, justru mencatatkan kenaikan tajam karena prospek kenaikan pendapatan dari harga minyak yang lebih tinggi.
Volatilitas dan Sentimen Investor
Ketidakpastian geopolitik memicu peningkatan volatilitas pasar. Indeks VIX, yang dikenal sebagai “indeks ketakutan,” melonjak sebagai indikasi bahwa pelaku pasar mulai mengantisipasi guncangan yang lebih besar. Investor institusi mempercepat langkah lindung nilai (hedging) sementara investor ritel cenderung menjual saham mereka untuk menghindari risiko yang lebih besar.
Situasi ini menunjukkan betapa rentannya pasar global terhadap faktor geopolitik.
Dampak Jangka Menengah: Ketidakpastian Kebijakan
Selain dampak langsung, ketegangan AS-Iran ini juga menciptakan ketidakpastian kebijakan,
Kesimpulan
Serangan AS terhadap Iran telah memberikan dampak luas terhadap pasar minyak dan bursa saham dunia. Harga minyak melonjak akibat kekhawatiran gangguan pasokan, yang pada akhirnya menambah tekanan inflasi global. Pasar saham merespons dengan penurunan tajam dan lonjakan volatilitas karena kekhawatiran eskalasi konflik. Kejadian ini menegaskan kembali hubungan erat antara geopolitik, energi, dan ekonomi global.