bengkelsastra.com – Mengapa sebagian cerita begitu membekas di kepala, sementara lainnya cepat terlupakan? Pertanyaan ini mendorong sekelompok ilmuwan dari Emory University, Institute for Advanced Study, dan Weizmann Institute untuk menelusuri cara otak manusia menyusun dan menyimpan informasi naratif.
Dengan memanfaatkan pendekatan dari ilmu matematika, fisika, dan komputer, mereka menciptakan model bernama “random trees” atau pohon acak. Tujuannya bukan cuma sekadar membuat teori abstrak, tapi merancang kerangka konkret untuk memahami proses penyimpanan cerita dalam memori manusia.
Memori dan Narasi, Lebih Terstruktur dari yang Kita Kira
Penelitian ini bertumpu pada asumsi bahwa narasi atau cerita tidak disimpan secara acak di otak, melainkan membentuk pola struktur seperti pohon. Batangnya adalah inti cerita, dan cabang-cabangnya mewakili detail-detail kecil yang diingat atau disingkat oleh otak.
Misha Tsodyks, salah satu peneliti utama, menyebut bahwa selama ini banyak ahli percaya cerita terlalu rumit untuk bisa dimodelkan secara matematis. Namun hasil studi ini menunjukkan sebaliknya. “Meski narasi terlihat kompleks, ada pola statistik yang konsisten dalam cara manusia mengingatnya,” kata Tsodyks.
Cerita Labov dan 100 Responden
Untuk menguji teorinya, tim peneliti melakukan eksperimen berbasis daring melalui platform seperti Amazon dan Prolific. Mereka menyuguhkan 11 narasi dengan panjang bervariasi (20–200 kalimat) kepada 100 responden, kemudian menganalisis bagaimana tiap individu mengingat cerita tersebut.
Yang menarik, para responden cenderung menyederhanakan bagian-bagian cerita menjadi satu kalimat ringkas. Pola ini yang menginspirasi model pohon, di mana bagian akar dan cabang utama mewakili bagian yang paling mudah diingat dan dianggap penting oleh otak.
Model yang Bisa Dipecahkan Secara Matematika
Keunggulan utama dari model ini adalah kemampuannya untuk diuji secara matematis. Struktur pohon acak ini bukan hanya teori, tapi bisa menghasilkan prediksi konkret tentang bagaimana manusia mengingat dan menceritakan kembali narasi.
Menurut para peneliti, pendekatan ini bisa diaplikasikan tak hanya pada cerita pribadi, tetapi juga kisah sejarah, sosial, hingga sastra. Ini membuka peluang besar bagi pemahaman lebih dalam soal kognisi manusia.
AI Jadi Alat Pendukung
Dalam analisis data, tim juga memanfaatkan kecanggihan large language models (LLMs) atau model bahasa skala besar berbasis AI. Teknologi ini membantu menguraikan bagaimana cerita disederhanakan dan disusun ulang oleh masing-masing peserta.
Model AI mampu menangkap pola penyederhanaan yang dilakukan otak, yang kemudian dibandingkan dengan struktur pohon teoretis. Hasilnya menunjukkan konsistensi antara narasi yang diceritakan ulang dan bentuk pohon acak yang mereka usulkan.
Implikasi untuk Dunia Pendidikan dan Kognitif
Penelitian ini bukan cuma soal teori memori, tapi berpotensi mengubah cara kita mengajarkan, mengarsipkan, hingga menyusun informasi. Dalam dunia pendidikan misalnya, pemahaman tentang struktur naratif ini bisa membantu merancang materi pelajaran yang lebih mudah dicerna dan diingat.
Selain itu, pendekatan ini juga menjanjikan dalam ranah terapi, terutama untuk individu dengan gangguan memori atau trauma, di mana narasi hidup mereka bisa dianalisis lewat struktur kognitif baru.
Rencana Riset Selanjutnya
Tsodyks dan timnya belum berhenti di sini. Mereka berencana melanjutkan penelitian untuk melihat apakah struktur pohon acak ini juga berlaku pada cerita fiksi, dongeng, atau bahkan cerita film.
Lebih jauh lagi, mereka ingin membuktikan model ini melalui metode langsung seperti pemindaian otak saat seseorang sedang membaca atau mengingat cerita. Ini akan jadi langkah besar dalam menghubungkan teori dengan mekanisme biologis otak secara nyata.
