Internasional

Negara AS Mulai Dijauhi Akibat Dedolarisasi Di Mana-Mana

Amerika Serikat (AS) mulai “dijauhi” sejumlah negara. Hal ini menjadi pemberitaan pekan ini. Pasalnya sejumlah negara kini mewacanakan dedolarisasi. Itu adalah aksi pengurangan dolar AS dalam perdagangan dan investasi yang dilakukan beberapa negara. Salah satunya oleh BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Aliansi tersebut dilaporkan sedang dalam proses menciptakan alat pembayaran baru yang diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang.

Tak hanya BRICS, Arab Saudi juga sempat dilaporkan Wall Street Journal akan menggunakan yuan sebagai mata uang dalam perdagangan minyak dengan China. Dari petrodolar, alat tukar akan berganti petroyuan. Dollar AS sendiri memang diketahui hingga saat ini merupakan mata uang yang dominan dipakai dalam perdagangan internasional. Ini membuat kebijakan ekonomi apapun yang dikeluarkan The Fed selalu berdampak bagi kondisi global.

Sementara dari segi pergaulan internasional, AS pun mulai “dilupakan” beberapa negara termasuk sekutu dekatnya. Sebut saja Arab Saudi yang tiba-tiba membina hubungan kembali dengan Iran, di bawah mediasi China, sebagaimana diberitakan Reuters dan AFP. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengatakan Eropa harus mengurangi “ketergantungannya” pada dolar AS dan menghindarkan diri dari terseret ke dalam konfrontasi antara AS dan China atas Taiwan. Ini dikatannya setelah menemui Presiden China Xi Jinping beberapa waktu lalu.

Jauh sebelum fenomena dedolarisasi, sejarawan terkenal Alferd McCoy pernah memprediksi “kekaisaran” Amerika akan runtuh di 2017. Hal ini bahkan dikatakannya sejak Donald Trump menjadi Presiden AS. Dimuat Big Think, ia mengatakan terpilihnya Trump sebagai gejala melemahnya AS di panggung internasional. Trump disebut mempercepat penurunan AS. “Abad Amerika … mungkin sudah compang-camping dan memudar pada tahun 2025 … bisa berakhir pada tahun 2030,” kata McCoy. “Pada tahun 2030, dolar AS akan kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dominan dunia, menandai hilangnya pengaruh kekaisaran.”

Baca Juga:  China Nyaris Bentrok Dengan Filipina di LCS

Perubahan ini akan mendorong kenaikan harga yang dramatis untuk impor Amerika. Biaya perjalanan ke luar negeri untuk turis dan pasukan AS juga akan meningkat. “Seperti negara adidaya yang memudar yang tidak mampu membayar tagihannya, Amerika kemudian akan terus ditantang oleh kekuatan seperti China, Rusia, Iran, dan lainnya untuk menguasai lautan, ruang angkasa, dan dunia maya,” tambah penulis buku ‘The Politics of Heroin’ tersebut.

AS sendiri mulai mengakui fenomena dedolarisasi yang ditandai dengan rencana sejumlah negara untuk meninggalkan mata uang Negeri Paman Sam tersebut merupakan ‘buah’ senjata makan tuan. Apalagi kalau bukan sanksi terhadap Rusia karena perang di Ukraina. Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen. Dalam wawancaranya dengan CNN International Minggu lalu, Yellen menyadari bahwa risiko melemahnya dominasi dolar AS merupakan konsekuensi dari serangkaian sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Rusia.

Pasalnya, negara-negara yang selama ini bergantung pada dolar AS dan tak memiliki hubungan harmonis dengan Negeri Paman Sam. Mereka mulai berpikir untuk mencari alternatif mata uang lain untuk transaksi global. “Ada risiko ketika kita menggunakan sanksi finansial yang dikaitkan dengan peran dolar yang seiring waktu dapat merusak hegemoni dolar,” kata Yellen.

Menurutnya, hal itu menimbulkan keinginan di pihak China, Rusia, hingga Iran untuk mencari mata uang alternatif. Dengan demikian, ancaman dedolarisasi benar-benar nyata. Kendati demikian, Yellen menegaskan peran dolar AS akan tetap dominan. Ia yakin hal itu. “Tetapi dolar digunakan sebagai mata uang global dengan alasan yang tidak mudah bagi negara lain untuk menemukan alternatif dengan sifat yang sama,” tuturnya.

Menurutnya, pasar modal AS yang kuat dan supremasi hukum sangat penting dalam mata uang yang akan digunakan secara global untuk transaksi. “Dan kami belum melihat negara lain yang memiliki dasar…infrastruktur institusional yang memungkinkan mata uangnya untuk melayani dunia seperti ini,” tambahnya, mengaku tidak menyesali sanksi ekonomi AS yang dijatuhkan atas Rusia.

Baca Juga:  Status AS SebagaI Negara Adidaya Berada Di Ambang Kehancuran