Internasional

AS Dikhianati Arab Saudi Yang Sah Jadi Sekutu China-Rusia

Arab Saudi kini mulai terang-terangan menunjukan kedekatan ke China dan Rusia. Awal pekan ini, kabinet Arab Saudi menyetujui keputusan untuk bergabung dengan blok keamanan yang dipimpin China, Organisasi Kerjasama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization/SCO). Arab Saudi menyetujui keputusan untuk bergabung dengan SCO seiring dengan langkah Riyadh membangun kemitraan jangka panjang dengan China meskipun ada masalah keamanan Amerika Serikat (AS).

Sumber Reuters mengungkapkan rencana bergabungnya Arab Saudi dengan SCO sejatinya telah dibahas selama kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Arab Saudi Desember lalu. Status mitra dialog akan menjadi langkah pertama dalam organisasi sebelum memberikan Kerajaan Saudi keanggotaan penuh dalam jangka menengah.

Keputusan tersebut menyusul pengumuman oleh Saudi Aramco yang meningkatkan investasi miliaran dolar di China pada Selasa, dengan menyelesaikan usaha patungan yang direncanakan di China timur laut dan mengakuisisi saham di grup petrokimia yang dikendalikan secara pribadi.

Langkah Saudi ini menjadi tamparan untuk AS. Perlu diketahui, Arab Saudi secara tradisional adalah sekutu dekat AS di jazirah Arab. China dan Rusia saat ini dipandang sebagai rival Paman Sam. AS bermasalah dengan China dari banyak sisi mulai dari hak asasi manusia (HAM), perdagangan, teknologi, Covid-19 dan Taiwan sementara Rusia terkait NATO, hingga perang di Ukraina.

SOC sendiri merupakan aliansi politik, keamanan dan perdagangan negara-negara yang dibentuk pada 2001. Ini tersebar di sebagian besar wilayah Eurasia, termasuk China dan Rusia, India, Pakistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, serta Tajikistan. Selain itu, Iran, yang merupakan ‘musuh bebuyutan’ AS Cs, juga telah menandatangani dokumen keanggotaan penuh SCO tahun lalu.

Sebenarnya, hubungan antara Arab Saudi dan AS mulai memburuk pada era administrasi Presiden Joe Biden. Selama masa kampanyenya pada 2020 lalu, Biden telah menyudutkan kerajaan dengan menyebutnya negara ‘pariah’ karena isu HAM. Tak hanya itu, Gedung Putih juga terus mengalamatkan tuduhan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi kepada Putra Mahkota Saudi, Mohammed Bin Salman (MBS). MBS adalah pemimpin de facto Arab Saudi.

Baca Juga:  Rusia Sedang Mencari Calon Pengganti Putin Secara Diam-Diam

Torbjorn Soltvedt, analis utama MENA di Verisk Maplecroft, dalam sebuah catatan email tahun 2021 lalu mengatakan bahwa ini merupakan penghinaan. Tidak selesai sampai disitu, Biden juga sempat menilai bahwa dukungan AS kepada Arab Saudi sehubungan dengan perang di Yaman harus dihentikan. Langkah ini pun mulai mengundang reaksi dari Riyadh. Saudi pun mulai mengambil jalan yang berbeda dengan apa yang dipikirkan Washington.

Ketegangan terlihat jelas di 2022 lalu. Kala itu Biden berkunjung langsung bertemu dengan MBS untuk meminta Arab Saudi menggenjot produksi minyak sehubungan dengan lonjakan harga pasca perang Rusia-Ukraina. Diketahui, Arab Saudi merupakan eksportir minyak terbesar dunia dan juga kekuatan penting dalam organisasi negara pengekspor minyak, OPEC dan OPEC+, di mana terdapat Rusia di dalamnya. Namun, Arab Saudi justru menolak permintaan Biden itu dan terus memotong produksi minyak.

Negeri itu beralasan bahwa ini disebabkan oleh permintaan yang melemah. Ini disebabkan China, pembeli 25% minyak Arab Saudi, sedang mengalami lockdown karena kebijakan ketat Covid-19. Keputusan itu memicu kemarahan di sekitar pejabat AS. Para pejabat mengatakan Biden secara pribadi kecewa dengan apa yang mereka sebut keputusan “pandangan sempit”.