Dampak Subsidi Listrik Diperluas ke APBN 2025

Dampak Subsidi Listrik Diperluas ke APBN 2025
  • bengkelsastra.comSubsidi Listrik Diperluas, Ini Dampaknya ke APBN 2025. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memperluas subsidi listrik pada tahun 2025. Sebagai bagian dari strategi menjaga daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian global dan tekanan inflasi energi. Keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Subsidi yang di perluas akan berdampak langsung terhadap struktur belanja negara, khususnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025.

    Kebijakan ini menjadi topik hangat di kalangan ekonom, pelaku industri, dan masyarakat luas karena menyangkut dua hal penting: keadilan energi dan ketahanan fiskal nasional.

    Perluasan Subsidi: Siapa Saja yang Terdampak?

    Dalam skema baru yang di umumkan Kementerian ESDM, subsidi listrik akan di perluas mencakup pelanggan rumah tangga dengan daya 900 VA non-subsidi dan sebagian pelanggan UMKM. Tujuannya adalah memberikan bantalan sosial kepada kelompok rentan yang selama ini tidak mendapatkan perlindungan langsung dari kebijakan tarif listrik.

    Penerima subsidi baru ini di perkirakan mencapai lebih dari 10 juta pelanggan tambahan. Yang sebelumnya berada di zona abu-abu—tidak cukup miskin untuk menerima subsidi, namun terlalu lemah untuk menghadapi lonjakan tarif listrik.

    Alokasi Anggaran: Kenaikan Signifikan di Sektor Energi

    Dalam RAPBN 2025 yang telah di ajukan ke DPR, tercatat bahwa alokasi subsidi energi, termasuk listrik dan BBM, naik sekitar 15% dari tahun sebelumnya. Total anggaran subsidi energi di patok pada angka Rp 350 triliun, dengan sekitar Rp 110 triliun dialokasikan khusus untuk subsidi listrik.

    Lonjakan ini menjadi salah satu belanja terbesar dalam struktur APBN dan menyisakan ruang fiskal yang semakin sempit untuk sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

  • Baca juga : Dari Biji ke Cangkir: Ritual Sakral di Balik Setiap Seduhan Kopi
  • Dampak Fiskal Jangka Pendek dan Panjang

    Perluasan subsidi tentu membawa dampak jangka pendek yang positif, terutama dalam menstimulasi konsumsi rumah tangga dan menjaga kestabilan harga barang. Namun, dalam jangka panjang, kebijakan ini mengandung risiko fiskal yang cukup besar.

    1. Defisit Anggaran Membengkak: Jika tidak di barengi dengan penerimaan negara yang meningkat, belanja subsidi berpotensi meningkatkan defisit APBN melebihi batas aman 3%.

    2. Ketergantungan Subsidi: Terlalu bergantung pada subsidi bisa menurunkan insentif efisiensi energi dan reformasi struktur tarif listrik.

    3. Ruang Fiskal Terbatas: Pemerintah akan kesulitan membiayai program strategis lainnya karena APBN tersedot untuk belanja konsumtif.

    Analisis Ekonom: Perlu Reformasi Bertahap

    Para ekonom menyarankan agar kebijakan subsidi tetap di kawal dengan ketat, di sertai sistem targeting yang tepat sasaran. Beberapa juga mengusulkan transisi dari subsidi berbasis komoditas (tarif listrik) ke subsidi berbasis orang (direct cash transfer) untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas anggaran.

    Menurut Ekonom UI, Dr. Faisal Basri, subsidi listrik memang penting sebagai jaring pengaman sosial, tapi perlu di sesuaikan secara bertahap agar tidak menimbulkan beban fiskal yang berkelanjutan. “Subsidi jangan jadi candu. Negara harus mendidik masyarakat untuk hemat dan efisien,” katanya.

    Tantangan dan Harapan ke Depan

    Pemerintah di tuntut untuk transparan dalam menetapkan penerima subsidi dan melibatkan data terkini dari DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) serta PLN. Selain itu, upaya digitalisasi dan pengawasan real-time atas penggunaan subsidi menjadi kunci sukses kebijakan ini.

    Jika di kelola dengan benar, perluasan subsidi listrik bisa menjadi solusi jangka menengah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Namun jika tidak, ia bisa menjadi bom waktu fiskal yang mengganggu konsistensi pengelolaan anggaran.

    Kebijakan Harus Berkelanjutan

    Subsidi listrik bukan hanya soal tarif dan daya beli, tapi juga cerminan arah kebijakan energi dan keberlanjutan fiskal Indonesia. Tahun 2025 akan menjadi momen kritis di mana pemerintah harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan sosial dan tanggung jawab fiskal.

    Masyarakat, DPR, dan dunia usaha wajib mengawasi implementasi kebijakan ini agar tujuan awal—keadilan dan ketahanan energi—tidak berubah menjadi beban yang merugikan generasi mendatang.

Baca Juga:  PLN Mengenalkan Layanan Baru Di Event Goedenavond Kotabaru Yogyakarta
Back To Top