Pages

  • Portfolio
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
youtube google+ twitter instagram
Bengkel Sastra

  • Home
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Kontak
    • Kepengurusan
  • Berita
    • Sastra
    • Budaya
  • Kategori
    • Puisi
    • Ulasan
      • Puisi
      • Cerpen
      • Naskah Drama
      • Novel
      • Film
      • Pertunjukkan Teater
    • Cerpen
    • Naskah Drama
    • Pementasan Teater
  • Info Acara
  • Karya


Bengkel Sastra UNJ Menuju Satu Dekade
mempersembahkan

Mari rayakan Hari Puisi Internasional bersama Bengkel Sastra dalam Selebrasi Cinta 2018 dengan tema "Saatnya puisi bicara cinta" yang menyuguhkan beberapa rangkaian menarik, yaitu:

- Pameran Puisi
- Musikalisasi Puisi
- Pembacaan Puisi
- Teater Ruang Terbuka
- Dramatic Reading
- Diskusi Penulisan Puisi bersama Helvy Tiana Rosa dan Watipu

Jangan lupa kirim puisi karyamu dengan tema 'cinta' untuk dipamerkan dalam Pameran Puisi lewat surel [email protected] Maksimal pengiriman 2 puisi/individu. Adapun batas waktu pengiriman hanya sampai 15 Maret 2018.

Jangan lupa datang dan jadilah bagian terbesar untuk memeriahkan cinta bersama puisi!

Salam Budaya
Bengkel Sastra UNJ


0
Share


Judul               : Perjalanan Nun Jauh Ke Atas Sana
Penulis                : Kurt Vonnegut, Jr.
Penerjemah         : Widya Mahardika Putra
Penerbit              : OAK, Yogyakarta
Cetakan              : pertama, September 2017
Tebal               : x + 28 hlm
ISBN               : 978-602-60924-5-8
Beberapa pekan yang lalu, gawai saya penuh dengan notifikasi pesan yang masuk dari beberapa grup di Whatsapp. Grup dengan notifikasi terbanyak menarik perhatian saya. Dimulai dengan sebaran poster pementasan drama, ucapan selamat ulang tahun salah satu anggota grup, guyonan Dewa Horus dengan Dewa Seth sebagai penyebab angin kencang, sebaran modus penipuan ojek daring, sharing jurnal ilmiah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Perdebatan rilisnya sebuah klaim kelahiran angkatan puisi baru merupakan chat grup terpanjang yang saya simak selagi itu.
Setelah berpanjang-panjang dengan wacana angkatan puisi itu, seseorang di grup mengirim sebuah gambar –tepatnya sebuah foto sampul buku- lengkap dengan kepsyen setengah opininya. “Buku ini bagus betul, walau cuma berisi dua cerita pendek saja, tapi ini betulan gokil....” Melihat gambarnya saya cukup tertarik, desain sampul yang unik persis seperti desain poster sebuah pidato kebudayaan yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki tempo lalu.  Saya, sebagai anggota pasif grup ini, memberanikan muncul untuk menanyakan buku tersebut hingga akhirnya ‘nitip dibawakan satu’ saat diskusi di kedai kopi dekat kampus keesokan harinya.
Saya terlambat datang, buku ini tadinya sudah dibeli dan nyaris dibawa orang. Beruntung, dengan bantuan seseorang dan muka memelas, buku ini sampai ke tangan saya. Entah apa yang membuat buku ini menjadi begitu diperjuangkan. Antara kata-kata teman anggota grup yang saya percaya melebihi seorang sales itu, desain sampulnya, nama asing yang tertera di sampul buku itu, atau memang karena harganya yang di bawah tiga puluh ribuan.
Seperti yang teman saya katakan, buku ini terdiri dari dua cerpen, sehingga buku ini tipis dan kecil, hanya sekitar 12 x 18 cm. Pada jilid buku ini terdapat lisensi Penerbit OAK, hak cipta terjemahan dilindungi undang-undang, dan tiga judul yang tertera dalam daftar isi. Judul pertama adalah yang juga menjadi judul buku ini, “Kurt Vonnegut-Perjalanan Nun Jauh Ke Atas Sana” (terjemahan dari Big Trip Up Yonder). Yang kedua berjudul “2BR02B”. Yang ketiga berjudul “Mengapa Vonnegut?”.
Tanpa membaca judul yang ketiga sebagai ‘petunjuk’, saya tidak dapat membayangkan berapa kali saya harus membaca ulang setiap detil buku ini untuk mengerti. Terlebih karena saya sendiri jarang membaca buku terjemahan, apalagi yang bergenre science-fiction.
Vonnegut banyak menggambarkan cerminan kehidupan Eropa. Nama-nama orang khas Eropa, seperti Emerald, Lou, Hitz, dan Wehling juga digunakan sebagai nama tokoh dalam ceritanya. Penggambaran desain bangunan dan tata dialog juga tidak kalah asingnya. Ditambah pengangkatan latar di abad ke-22, membuat cerita di dalamnya terasa semakin jauh dan berbeda dengan lingkungan dan penerapan budaya orang Indonesia seperti saya. Anti-gerasone yang sering disebut dalam buku ini membuat pembaca seolah sedang menonton film Hollywood bergenre science-fiction. Inilah alasan saya memilih judul ‘Tayangan Overpopulasi’ untuk tulisan saya kali ini.
Rasa keterasingan saya terbayar dengan lelucon sarkasme atas overpopulasi yang diangkatnya menjadi tema besar. Sepemahaman saya, overpopulasi ialah keadaan lepas kendali atas membludaknya jumlah populasi manusia. Angka kelahiran meningkat tajam dan jauh dari angka kematian. Di dalam buku ini, seperti yang tertera pada ‘petunjuk’ di judul ketiga, Vonnegut menggambarkan masalah overpopulasi dan solusinya secara duniawi. Sehingga menghadirkan beragam cara pandang yang sawang-sinawang.
Membaca cerita pertama (Perjalan Nun Jauh ke Atas Sana), saya  mengalami auto-connect dengan keadaan negara tercinta Indonesia, mengingat Indonesia juga merupakan negara dengan populasi yang besar. Tidak jarang kita menemukan, terutama di daerah-daerah, beberapa kepala keluarga yang tinggal bersama di bawah satu atap. Hal ini tercermin dari penggambaran letak duduk Lou (tokoh dalam cerita pertama),
“...di baris paling belakang, di belakang ayah dan ibunya, kakak dan adik iparnya, cucu dan cicitnya, keponakannya, cucu dan cicit keponakannya…” (hlm.2).
Penggambaran overpopulasi pada cerita pertama lebih mengarah pada pandangan bahwa  keabadian, yang banyak diharapkan manusia, ternyata menimbulkan berbagai masalah. Vonnegut mencitrakan keabadian dengan usia, seluruh tokohnya rerata berusia di atas seratus tahun. Sehingga seluruh keturunan melahirkan keturunannya lagi, dan semuanya berada dalam satu tempat tinggal.
Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perebutan hak waris: tempat tinggal dengan privasi dan kenyamanan menjadi dambaan bagi setiap orang di dalam  keluarga besar itu. Lou sebagai cucu Kakek harus berkelakuan baik, tidak boleh melakukan satu kesalahan pun bila ingin tetap memiliki tempat tinggal.
“Hari ini, untuk kesebelas kalinya Lou telah kehilangan jatah warisannya, dan mungkin ia harus berkelakuan baik tanpa cela selama enam bulan untuk kembali mendapatkan jatah warisan…” (hlm. 5).
Pada bagian akhir cerita pertama, Vonnegut mengubah sikap taat dan tunduk itu menjadi  sebuah tindakan yang sia-sia.
“Semuanya ada. Wastafel, kasur, lampu, lengkap pokoknya. Aku jadi heran, mengapa kita mau capek-capek berebut kamar kakek.” (hlm.19).
Perjalanan Nun Jauh Ke Atas Sana merupakan cerita yang berasal dari angan-angan kakek untuk dapat hidup dengan damai sejak puluhan tahun yang lalu. Overpopulasi di dalam apartemennya menjadi sebuah “gangguan” yang harus segera disingkirkan. Angan-angannya itu baru terwujud ketika seluruh keturunan yang ada di apartemennya masuk penjara. Seketika itu kakek berkata, “Schen-ec-ta-dy, Akhirnya selesai juga!” (hlm.21).
Cerita kedua di buku ini berjudul “2BR02B”, menceritakan tentang bagaimana mengatasi overpopulasi, namun dalam skala yang lebih besar. Awalnya, pembaca diantarkan ke keadaan dunia yang menjadi dambaan setiap umat manusia setelah keabadian.
“Tak ada penjara, tak ada kampung kumuh, tak ada rumah sakit jiwa, tak ada orang cacat, tak ada kemiskinan, tak ada perang… seluruh penyakit sudah ditaklukkan. Begitu pula usia.” (hlm. 23-24).
Dunia digambarkan menjadi sebuah tempat yang sangat sehat dan ideal. Tetapi, semua keadaan indah dan manis dalam cerita ini harus dibayar mahal, yaitu dengan adanya kontrol populasi.  
“Saya hanya perlu memilih salah satu dari anak saya untuk tetap hidup, kemudian mengantar kakek saya dari pihak ibu ke Pengalengan, dan kembali ke sini membawa tanda terima.” (hlm.34).
Di dalam cerita ini, Vonnegut menulis dengan sangat nyata bahwa keadaan dunia yang baik dapat terwujud dengan cara mencegah overpopulasi. Bahwa penekanan angka penduduk adalah sebuah jalan praktis menuju dunia yang aman dan nyaman. Penjagalan terhadap salah satu anggota keluarga adalah harga yang pantas untuk dibayarkan. “2BR02B” dalam cerita ini adalah sebuah nomor telepon dari sebuah institusi yang memiliki julukan “Otomat”, “Negeri Burung”, “Pengalengan”, “Jangan-Menangis-Lagi”, “Buat Apa Susah?”, dan masih banyak lagi, yang tak lain adalah tempat untuk mengeksekusi orang-orang yang ‘ingin’ mati. Dalam catatan kakinya, “2BR02B” dibaca “To be or not to be”, yang diambil dari soliloquy tokoh Hamlet dalam drama tragedi Hamlet karya William Shakespeare.
Buku ini, sebagaimana yang tertulis di dalamnya, “..cukup untuk memperkenalkan sepenuhnya karakter Vonnegut kepada publik pembaca Indonesia..” (hlm.46) sebagai karya bergenre science-fiction yang layak baca.

-Khurin Nurlaili Imandini-
0
Share

Menyuguhkan suatu pementasan yang luar biasa merupakan tugas yang tak mudah, namun melewati proses pementasan yang tak mudah merupakan suatu keharusan dan tantangan yang luar biasa. Pengalaman dan suasana baru tentu kami rasakan setelah melewati keseruan sebelumnya,terlebih untuk anggota baru Bengkel Sastra yang mengisi atmosfer baru keluarga ini dan mengawali pementasan pertama mereka.
            Pembacaan naskah dimulai ketika salah satu kegiatan Bengsas yaitu latihan alam terlaksana. Banyak naskah yang telah dibaca dan kami pahami, dari naskah yang memainkan 5 Aktor hingga 12 Aktor. Pada akhirnya, sutradara memutuskan untuk memilih naskah “Mentang-mentang dari New York” oleh Marcelino Agana JR yang diterjemahkan oleh Tjetje Yusuf. Naskah ini dibawakan dengan gaya realis dan menggunakan bahasa Betawi dalam berdialog. Tantangan besar bagi kami untuk membawakan naskah ini karena banyak sekali pergantian emosi yang terbilang cepat dan juga guyonan-guyonan dalambahasa Betawi.
           Untuk menyesuaikan pembawaan serta jumlah aktor, dilakukanlah proses casting dalam waktu 2 hari untuk memilih aktor yang akan berperan dalam pementasan ini. Hasil dari casting, terpilihlah 5 aktor yaitu Siti Jamilatulfadhylah(Ikah), Indra Komara (Anen), Ning Idja Jasman (Fatimah), M. Aldiansyah (Otong), dan Dara Adinda Agrin (Bi Atang).
         Beradaptasi dengan bahasa Betawi adalah salah satu hal yang terbilang sulit, bahkan hingga hari terakhir blocking, kami masih sering salah mengucapkan dialek Betawi “ya iye gimane kaga susah, kite orang beragam bangat dah ini, apalagi ono Bi Atang, pemeran aslinye dari Mamuju, gimane kaga pening ubun-ubun”.
            Selama 2  bulan kami berlatih, banyak sekali evaluasi dan motivasi untuk para aktor juga tim produksi. Evaluasi ini memberi ide bagi sutradara yaitu Rio Tantowi untuk menambah beberapa aktor sebagai pemeran pendukung sehingga memberikan warna baru dan sentuhan yang lebih menarik karena keberadaan mereka. Aktor-aktor itu adalah Muna Azzah ( Mbak Ayune) dan Sheldy Ardya Pramanda (Cang Mamat).
           

   Latihan kami selama 2 bulan dapat dikatakan sebagai latihan yang tidak selalu berjalanmulus. Kadang aktornya lengkap, kadang ada yang berhalangan hadir karena alasan tertentu,  Begitu juga dengan tim produksi, dari artistik yang anggotanya jarang hadir, musik pendukung yang masih belum sesuai, pencahayaan yang belum terkonsep, kostum yang tidak sepadan dengan aktor, dan masih banyak kendala lainnya. Hal tersebut terkadang memengaruhi semangat kami dalam berlatih. Saya sebagai salah satu aktor pun terkadang merasa tidak semangat dan selalu merasa ada yang kurang. Apalagi selama 1 bulan, latihan kami tidak terbilang kondusif karena masih ada tanggung jawab menyelesaikan UAS dan kesibukan lainnya sehingga kami jarang berlatih dan menyemangati satu sama lain. Itulah dukanya. Namun duka tersebut kalah dengan banyaknya keseruan tiada banding, banyak sekali tantangan baru dalam bermain peran apalagi pendekatan para aktor seperti Otong dengan Anen, Anen dengan Ikah, Fatimah dengan Anen, Otong dengan Fatimah, Bi Atang dengan Ikah, dan seluruh keluarga Kampung Jelambar. Pergantian emosi yang berlalu (berganti) cepat menjadi tantangan yang diselimuti keseruan dari kami para aktor. Guyonan dan permainan selalu menjadi selingan bagi kami sebelum melakukan blocking atau ketika blocking berlangsung, “iyee, becanda aja bagus”.
       7 hari sebelum pementasan pun masih jauh dari kata sempurna. Gaya bahasa, artikulasi, perubahan emosi, dan dialek Betawi masih terus dievaluasi berulang kali dan sulit untuk ditingkatkan. Berusaha dan menyemangati satu sama lain mungkin adalah tulisan yang melekat pada benak kami, karena sampai gladi bersih pun kami masih harus membenahi kekurangan kami yang tidak sedikit itu.
            Banyaknya penonton pada hari itu membuat kami yang berada di wing dan backstage menjadi lebih berdebar-debar, bahkan ada yang gemetar saking tidak ingin membuat penonton kecewa. Tangan dingin dan tidak bisa diam adalah hal yang kami alami. Bagaimana tidak, ini adalah panggung pertama kami setelah latihan alam berlangsung, apalagi bagi mahasiswa baru, benar-benar membuat saya merinding (berhubung saya adalah salah satu mahasiswa baru). The Miracle of H-day, saya memetik kata dari salah satu senior Bengsas. Ternyata memang benar nyata, muncul keajaiban, lebih santai, timbul keluwesan, dan munculceletokan-celetokan yang justru menambah daya tarik pementasan kami. Banyak kejadian yang tak disangka-sangka muncul, entah bagaimana hal itu menyembur dengan sendirinya, kami merasa ingin memberikan seluruh kemampuan terbaik yang dimiliki, tidak peduli apakah benar atau salah, kami sungguh menikmati suasana di atas panggung, rasa gugup dan gemetar hilang dalam sekejap, mencari sorotan cahaya lalu berdialog merupakan tanda bahwa kami harus membawakan peran dengan sepenuh hati bahkan melupakan siapa diri kami sebenarnya. Haru dan lega ketika mendengar tepuk tangan dari para penonton, senang ketika dapat menghibur dan mengerahkan seluruh kemampuan dan tenaga kami.
            Kami tidak kapok dan selalu ingin belajar, tidak ada yang lebih indah dari kebersamaan, nilai positif pementasan ada karena kerjasama yang baik dan kebersamaan dalam keluarga Bengkel Sastra, kehangatan serta saran yang selalu diberikan adalah salah satu hal besar yang berpengaruh pada tiap kegiatan khususnya pada pementasan kali ini. Kami tidak pernah lupa. Tidak pernah lupa pada hari itu, 25 Januari 2018.

-         

- -Ning Idja Jasman -

0
Share

Sepenggal malam, terbentuk dari penggalan-penggalan malam yang lain merubah butiran-butiran embun jadi yang lain, jadi pagi.

Di kanan-kiri banyak kopi, tapi tak kulihat wajah yang berlekuk pahit, itu benar mereka atau hanya pura-pura?

Sehitung mataku, ada 60 senti jarak antara ketikan tanganmu di papan penjarian dan sedotan—yang menyeruput kekosongan di gelas—di bawah jemariku

Aku sempat lupa, apa nama hari ini? Ada pemisah antara kemarin dan esok, ini masih seperempat menuju hari baru, tapi hari apa ini? Masih kemarin? Masih yang lalu? Esok? Diriku melamun

Perpindahan adalah perpindahan, transisi, bergerak, melamban, terhenti

Aku masih melamunkan hari, dan kau melamunkan seorang laki-laki. Tepat sekali. Ceritamu belum usai, masih paragraf pembuka, aku belum sempat berkenalan dengan lelaki itu

Oh jadi begitu?

Ini apalagi? Mengapa lantas aku yang bersedih? Sontak aku protes

Ini hari burukmu, mengapa aku?

Cuih, kau hanya bernyanyi dan air mataku menari

Lantunan laju bus yang susah tidur dengan susah payah mengantar kita kembali bercerita

Seingatku tadi kau yang tumpah, ayo tumpahkan lagi

Sepi. Tak nampak keinginannya melihatku

Aku dapat sesuatu, pikiranmu mestinya menjelma bus itu, lalu-lalang, bosan, dingin, rawan, apapun yang dihadapi bus itu ialah gambaran isi otakmu

Semoga ia tak menyentuh alam bawah sadarmu, doaku


Ini jam tiga pagi, dan seseorang bermimpi di atas bahuku


Oleh: Rio Tantowi
Ilustrasi: Milah Nuraini
0
Share

0
Share
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Selamat Datang!

www.BengkelSastra.com

Selamat datang di situs Bengkel Sastra. Di sini Anda akan menemukan informasi seputar sastra dan budaya. Anda juga dapat melihat hasil karya dari anggota Bengkel Sastra seperti puisi, cerpen, dan lainnya.

Follow Us

  • google+
  • youtube
  • twitter
  • instagram

Berlangganan via Email

Arsip Blog

  • ▼  2018 (5)
    • ▼  Februari (4)
      • Selebrasi Cinta
      • Tayangan Overpopulasi Dua Cerpen Vonnegut
      • Catatan Keaktoran: Mentang-mentang Abis Ngaktor
      • Puisi: Dialog Dini Hari
    • ►  Januari (1)
      • Mentang-mentang dari New York
  • ►  2017 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (8)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2016 (2)
    • ►  November (2)

Facebook Page

Google+ Followers

Pengikut

Statistik

Bengkel Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Mentang-mentang dari New York
  • Ulasan Lakon ‘Opera Kecoa’ oleh Teater Koma (2016)
    Kamis, 10 November 2016 adalah hari pertama dari pementasan Teater Koma yang ke-146 dengan lakon Opera Kecoa yang diselenggarakan di Graha ...
  • Selebrasi Cinta
    Bengkel Sastra UNJ Menuju Satu Dekade mempersembahkan Mari rayakan Hari Puisi Internasional bersama Bengkel Sastra dalam Selebras...

Twitter

Tweets by @bengsas

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Copyright © 2015 Bengkel Sastra

Created By ThemeXpose