Pages

  • Portfolio
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
youtube google+ twitter instagram
Bengkel Sastra

  • Home
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Kontak
    • Kepengurusan
  • Berita
    • Sastra
    • Budaya
  • Kategori
    • Puisi
    • Ulasan
      • Puisi
      • Cerpen
      • Naskah Drama
      • Novel
      • Film
      • Pertunjukkan Teater
    • Cerpen
    • Naskah Drama
    • Pementasan Teater
  • Info Acara
  • Karya
Oleh: Andriani

Rabu, 26 April 2017 Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjttjih mempersembahkan sebuah pertunjukan sandiwara dengan judul “Napak Tilas Sri Panggung Miss Tjitjih”. Pertunjukan ini merupakan salah satu dari rangkaian acara memperingati 89 tahun Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih. Acara yang diselenggarakan  di  Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki ini berlangsung dari pukul 19.30 sampai dengan selesai.


Pertunjukan yang berlangsung hampir dua jam ini mengisahkan perjalanan Miss Tjitjih (Irma Nurani) dengan kelompok sandiwaranya semenjak Miss Tjitjih di  Sumedang dan kemudian bertemu dengan Abu Bakar Bafagih yang merupakan pendiri dari Opera Valencia, hingga wafatnya Miss Tjitjih saat mementaskan cerita Gagak Solo. Dalam pertujukan tersebut, sang sutradara, Imas Darsih sukses  menampilkan sosok Tjitjih yang menjadi primadona dalam dunia seni pertunjukan. Meskipun pertujukan sandiwara ini dibawakan dengan menggunakan bahasa Sunda, sekali lagi, sukses membuat penontonnya terhibur. Dalam hal ini, aktor dan sutradara berhasil menampilkan sesuatu yang mampu menarik perhatian penonton terlepas dari bahasa yang digunakan.

Sekilas Sang Primadona Miss Tjitjih

Sosok dengan nama Nyai Tjitjih ini, yang lahir di Pesanggrahan, Sumedang, Jawa Barat, 1908 menjadi sosok yang legendaris. Tjitjih berparas cantik, kreatif, dan penuh disiplin dalam berkesenian. Nyi Tjitjih bertemu Abu Bakar Bafagih saat pertunjukan sandiwara lokal di Sumedang yang dibintangi olehnya. Bafagih merupakan sosok yang bergerak bersama awal munculnya industri seni pertunjukan modern yang berbasiskan pasar di kota-kota besar pada masa Hindia-Belanda. Berangkat dari kelompok sandiwara “Bimanyurupa Bangsawan” seorang Abubakar Bafagih pada tahun 1920-an mendirikan kelompok sandiwara “Opera Valencia” dengan tetap mengembangkan cerita dan teknik sandiwara Bimanyurupa Bangsawan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu panggung ke panggung lain. Tahun 1926, Nyi Tjitjih bergabung dengan Opera Valencia yang dipimpin Abu Bakar Bafagih. Sebagai sebuah penghargaan pada tahun 1928 Opera Valencia diubah menjadi Miss Tjitjih Tonil Gazelschap. Opera yang awalnya berbahasa pengantar Melayu itu berubah menjadi berbahasa Sunda. Tahun 1928 rombongan Miss Tjitjih ke Jakarta dan menetap di tanah kosong sebelah Bioskop REK di Kramat Mudane Senen, Jakarta Pusat. Namun, Tuhan berkehendak lain, Tjitjih tidak dapat menikmati kemashurannya. Pada tanggal 27 Agustus 1939 Tuhan telah memanggilnya. Tjitjih meninggal di atas panggung saat memerankan cerita Gagak Solo.


Lakon fenomenal “Kuntilanak Waru Doyong” menjadi  penutup yang bagus dari  pertunjukan “Napak Tilas Sri Panggung Miss Tjitjih”. Sangat mengejutkan sekaligus membuat kagum para penontonnya.


Untuk Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih yang bisa dibilang tidak muda lagi, Bengkel Sastra mengucapkan selamat mengulang hari lahir yang ke-89. Semoga bisa terus mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisi sampai generasi-generasi selanjutnya.

Salam, Bengkel Sastra.

0
Share
Dengar Kata Katapel




Ruang adalah dimensi di mana objek, peristiwa, dan waktu saling mengisi. Terjadi berbagai aktivitas yang beriringan dengan bentuk dan fungsi ruang, atau tak jarang bertentangan dengan bentuk dan fungsi ruang itu sendiri yang membuat ruang menjadi relatif untuk dieksplorasi.
Perubahan bentuk dan fungsi ruang dalam konteks sastra merupakan salah satu objek yang menarik untuk ditelusuri dan dieksplorasi secara liar oleh para pekerja seni pertunjukan.
Selama tujuh tahun Katapel berkelana dalam dunia seni pertunjukan, khususnya dalam dunia musik. Kali ini, Katapel mencoba memasuki ruang puisi lebih dalam dan mencari jalan untuk membuka selebar-lebarnya ruang puisi menjadi sebuah ruang yang lebih menarik untuk dinikmati.

Tiga paragraf di atas merupakan sinopsis konser musikalisasi puisi bertajuk Metaspasial yang diadakan oleh Katapel. Berasal dari sebuah perguruan tinggi di Bogor, Katapel berdiri pada tanggal 27 Januari 2013 dan mengkhususkan diri untuk bergerak dalam dunia musik serta puisi. Sebelumnya, nama kelompok remaja ini adalah Diksatrasia, namun seiring berjalannya waktu namanya berganti menjadi Katapel.

Kelompok ini memiliki tujuh orang personel inti yaitu, Ichbal Majoraharmony (Vokal & Gitar), Doni Dartafian (Biola, Sape, Terumpet), Irvan Agustin (Perkusi), Hakim Salman (Flute, Saron, Tehyan), Chairil Anwar (Perkusi), Ryza Satriana (Gitar), dan Ristyo Pahlawan (Bass).

Diselenggarakan di Gedung Kesenian Kemuning Gading, Bogor, Konser Metaspasial ini berlangsung selama dua hari—Sabtu, 22 April dan Minggu, 23 April 2017—dengan dua kali penampilan di masing-masing hari, pukul 13.30 dan 19.30 WIB di hari Sabtu serta pukul 10.00 dan 15.00 WIB di hari Minggu. Bengkel Sastra memilih untuk menonton penampilan Katapel ini pada Minggu pagi.


Ichbal dan kawan-kawan membawakan lima belas puisi yang telah dimusikalisasi dengan sangat apik. Dibuka dengan puisi Rendra, Gumamku, Ya Allah dan ditutup dengan puisi Mohon Pohon karya sang violinist, Doni Dartafian. Tiga belas musikalisasi puisi yang lain di antaranya adalah puisi-puisi karya sastrawan besar Indonesia seperti Sajak Doa (Sutardji Calzoum Bachri), Derai-Derai Cemara (Chairil Anwar), Sajak Rajawali (WS Rendra), Dengan Sepenuh Cinta (AGS Arya Dipayana), dan Al-Hadid (Fatin Hamamah), selain itu mereka juga menyanyikan puisi karya Yeni Fatmawati, Krisna Pabichara, Lies Wijayanti, Gemi Mohawk, pun puisi-puisi karya Katapel sendiri.

Menariknya, puisi-puisi tersebut dibawakan berurutan sesuai konteks yang mereka bedakan menjadi empat ruang; ruang vertikal, ruang sentimental, ruang kontemplatif, dan ruang rimba. Bukan hanya dari segi konteks, empat ruang tersebut juga mereka bedakan dari segi konsep penampilan untuk menyadarkan para penonton akan adanya perbedaan itu. Akan tetapi, dapat dengan mudah ditarik kesimpulan kalau Katapel tentu mengusung genre musik tertentu untuk musikalisasi puisinya, hal ini dapat dilihat dari setiap musikalisasi puisi yang terdengar “setipe” sehingga satu jam lebih penampilan mereka terkesan konsisten dan menjaga emosi pendengar sehingga tidak harus tiba-tiba meledak-ledak atau mendayu-dayu di tengah-tengah konser.

Hal lain yang membuat Katapel menarik sekaligus berbeda adalah mereka menggabungkan alunan Sunda dari alat musik khas Sunda pula, dengan alunan sekelompok pemain biola yang anehnya terdengar begitu harmonis.


Dilihat dari pilihan puisi yang dibawakan Katapel serta puisi-puisi ciptaan mereka, Katapel tentu ingin menyampaikan sesuatu kepada para penonton. Mereka tentunya ingin menyampaikan pesan-pesan yang seharusnya bisa membuat kita menjadi lebih baik, bukan hanya sekedar datang, duduk, dan bertepuk tangan.

Karena itu, semoga Katapel bisa sampai pada tujuannya dalam setiap konser yang mereka gelar.


Terima kasih atas musiknya, Katapel. Bengkel Sastra menikmati dengan baik.


Tiyas Puspita Sari


0
Share
PEMENTASAN TEATER “NYAI ONTOSOROH : PERJUANGAN HIDUP PEREMPUAN LEGENDA”
OLEH TEATER PARADA UNIVERSITAS IBNU CHALDUN JAKARTA




Menyambut datangnya Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April, dan juga menjadi penutup dalam rangkaian acara “Communication Day” Fikom UIC, Teater Parada Universitas Ibnu Chaldun Jakarta menyelenggarakan pementasan teater dengan lakon “Nyai Ontosoroh” pada hari Sabtu, 22 April 2017. Lakon ini adalah adaptasi dari novel legendaris “Bumi Manusia” Karya Pramoedya Ananta Toer. Disutradarai oleh Dian Pertiwi,  pementasan ini menjadi produksi kedua teater yang belum genap berusia setahun itu. Bertempat di aula Bachder Johan Universitas Ibnu Chaldun, pertunjukkan berlangsung dalam tata panggung yang sangat sederhana dalam merepresentasikan latar. Di kesempatan kali ini Bengkel Sastra diundang untuk menonton pertunjukkan tersebut.

“Kita telah melawan Nak Nyo, sebaik-baiknya. sehormat-hormatnya” begitulah dialog terakhir yang diucapkan oleh Nyai Ontosoroh (Febri Ayu Rianti) di ujung pementasan. Menjadi lambang perjuangan emansipasi seorang wanita di abad ke-19, Nyai Ontosoroh (Febri Ayu Rianti) menceritakan tentang perjuangan hidup seorang wanita jawa yang dipaksakan oleh orang tuanya untuk menjadi gundik dari seorang belanda bernama Herman Mellema (Tri Ferianto). Di awal hidupnya, Nyai Ontosoroh bernama Sanikem.  Di usia belia, ia menjalani masa yang sulit karena dirinya dijual oleh Sastromo (Yezi Pratama) yang merupakan ayahnya demi jabatan baru yang diinginkannya.


Dalam alur cerita yang cepat diperlihatkan bahwa Nyai Ontosoroh telah menjadi gundik yang terhormat bagi penduduk sekitar. Lalu ketika kedua orang tuanya hendak bertemu dengannya segera ia tolak keinginan tersebut karena merasa sudah tak punya orang tua lagi. Kini ia telah memiliki dua orang anak, salah satunya Annelies (Alin Tiani Putri). Annelies sendiri telah memiliki kekasih, Minke (Luis Andika) yang rajin mengunjungi rumahnya untuk bertemu.


Ujian hidup sesungguhnya dari Nyai Ontosoroh dimulai saat Ir. Maurits Mellema (Janwaria) datang ke rumah dan menuntut ayah yang telah meninggalkan ibunya dalam status yang tidak jelas. Ya, ayah Mauritz adalah Herman Mellema. Suasana di dalam rumah memanas kala kejadian tersebut. Perang mulut terjadi ketika Nyai Ontosoroh mendengar Mauritz Mellema yang sedang berbicara dengan Herman Mellema, menghina keluarganya. Dari dalam kamar Nyai langsung keluar dan mengusir Mauritz. Semenjak kejadian tersebut Herman Mellema bukan lagi Herman Mellema yang dulu. Ia lebih murung, lebih banyak diam dan lebih sering tidak di rumah.


Kedatangan Maurits ke rumahnya menjadi faktor utama berubahnya sikap dari Herman Mellema saat itu, di tengah kekalutan pikirannya, ia lalu mengunjungi rumah pelacuran milik Cici Ah Tjong (Desnie Kurniawaty) untuk melepas beban pikirannya, namun siapa sangka kunjungannya kala itu menjadi akhir dari rangkaian kehidupannya. Matanya tertutup untuk selamanya.


Setelah kematian Herman Mellema, pengadilan memberikan tindak diskriminatif terhadap apapun yang dilakukan Nyai dan Minke. mulai dari memojokkan kasus kematian Herman Mellema ke diri Nyai Ontosoroh hingga keputusan yang menyatakan bahwa Minke dan Annelies telah menjalani pernikahan yang tidak sah. Pribumi tidak memiliki kuasa atas kehormatan dan hak mereka di pengadilan. Tindak diskriminatif orang kulit putih menyebabkan mereka tak berdaya atas apa-apa. Annelies dipulangkan ke negeri asalnya : Belanda. Minke yang mengagung-agungkan eropa lemas saat semua yang diagungkannya merenggut istrinya. Namun Nyai Ontosoroh tetap tegar dan berkata “Kita telah melawan Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.



Selepas pertunjukkan malam itu pihak Teater Parada sengaja melakukan sesi evaluasi bersama yang mengajak seluruh penonton untuk menyampaikan opininya demi perkembangan teater tersebut ke depannya. Banyak komunitas teater di Jakarta yang turut menonton pementasan dan memberikan opini-opini membangun untuk Teater Parada. Meskipun segalanya bernuansa sederhana, pertunjukkan yang telah dilakukan Teater Parada adalah bukti bahwa semangat berteater tak bisa dihalangi oleh apapun. Tetap semangat dan jangan berhenti berkarya Teater Parada!

Rio Tantowi
0
Share
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Selamat Datang!

www.BengkelSastra.com

Selamat datang di situs Bengkel Sastra. Di sini Anda akan menemukan informasi seputar sastra dan budaya. Anda juga dapat melihat hasil karya dari anggota Bengkel Sastra seperti puisi, cerpen, dan lainnya.

Follow Us

  • google+
  • youtube
  • twitter
  • instagram

Berlangganan via Email

Arsip Blog

  • ►  2018 (5)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2017 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ▼  Mei (3)
      • Bukan Sekadar Pertunjukan “Napak Tilas Sri Panggun...
      • Dengar Kata Katapel
      • PEMENTASAN TEATER “NYAI ONTOSOROH : PERJUANGAN HID...
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (8)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2016 (2)
    • ►  November (2)

Facebook Page

Google+ Followers

Pengikut

Statistik

Bengkel Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Mentang-mentang dari New York
  • Ulasan Lakon ‘Opera Kecoa’ oleh Teater Koma (2016)
    Kamis, 10 November 2016 adalah hari pertama dari pementasan Teater Koma yang ke-146 dengan lakon Opera Kecoa yang diselenggarakan di Graha ...
  • Selebrasi Cinta
    Bengkel Sastra UNJ Menuju Satu Dekade mempersembahkan Mari rayakan Hari Puisi Internasional bersama Bengkel Sastra dalam Selebras...

Twitter

Tweets by @bengsas

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Copyright © 2015 Bengkel Sastra

Created By ThemeXpose