Pages

  • Portfolio
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
youtube google+ twitter instagram
Bengkel Sastra

  • Home
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Kontak
    • Kepengurusan
  • Berita
    • Sastra
    • Budaya
  • Kategori
    • Puisi
    • Ulasan
      • Puisi
      • Cerpen
      • Naskah Drama
      • Novel
      • Film
      • Pertunjukkan Teater
    • Cerpen
    • Naskah Drama
    • Pementasan Teater
  • Info Acara
  • Karya
Oleh: Dini 


Pada hari Jumat, 14 April 2017, pukul 18.30, Forum Kreativitas dan Seni Mahasiswa Politeknik STMI Jakarta mengundang Bengkel Sastra untuk menghadiri acara “A Tribute to Wawan ‘Kopong’ Irmawan”, sebuah acara yang dikhususkan untuk mengenang 100 hari mangkatnya Wawan "Kopong". acara ini mengusung tema “100 Hari Jejak Karyamu”.
Acara yang diselenggarakan di gedung kesenian yang cukup bersejarah bagi perkembangan seni di Jakarta, Gedung Kesenian Miss Tjitjih, Jakarta Pusat ini, turut dihadiri oleh beberapa kerabat pegiat kesenian dan mahasiswa, khususnya teman-teman dari Jakarta dan sekitarnya. “A Tribute To Wawan ‘Kopong’ Irmawan” merupakan bentuk penghargaan atas kerja kesenian Wawan Kopong, khususnya dari mahasiswa FKSM STMI, tempatnya membagikan ilmu sebagai pelatih atau mentor dalam bidang kesenian, khususnya musikalisasi puisi.

Beliau telah banyak berkecimpung dalam beberapa sanggar dan komunitas seni. Banyak pula karya-karyanya yang berupa aransemen musik latar untuk pertunjukan teater. Saat menjadi pengajar seni di FKSM STMI Jakarta, Wawan Kopong telah melahirkan beberapa aransemen musikalisasi puisi dari puisi-puisi penyair terkenal seperti Chairil Anwar, Taufik Ismail, Ws. Rendra, dan AGS Aryadipayana. Ia juga terkenal dengan aliran musik pop progresifnya ketika membuat aransemen untuk musikalisasi puisi. karya-karyanya tersebut kemudian dipentaskan oleh beberapa mahasiswa yang merupakan anggota dari FKSM STMI, sebagai salah satu bentuk penghormatan untuk Wawan Kopong. Dari beberapa teman pegiat seni, salah satu yang hadir ialah Ramdhani Qubil AJ, seniman yang terkenal dengan perannya sebagai Madit Musyawarah dalam sinetron “Islam KTP”. Beliau sekaligus memberikan sambutan pembukaan dalam acara ini.
Bengkel Sastra mengucapkan turut berduka cita atas mangkatnya Wawan "Kopong" Irmawan. Semoga segala karya dan ilmu yang telah ia wariskan akan senantiasa bermanfaat dan terus dikembangkan, khususnya oleh FKSM STMI. Tubuh akan remuk dihantam waktu, namun karya akan selamanya menghantui.


Salam, Bengkel Sastra.

-DINI
0
Share
Reversi
Malika Tazkia


Ilustrasi oleh Andriani



Perempuan itu seperti menolak eksistensi dirinya sendiri. Menolak setiap inci dari tubuhnya sendiri. Dan mati, dibunuh waktu yang merambati pembuluh darahnya. Ia tak lagi menyadari detak jantungnya sendiri, dan menjadikannya lagu pengantar untuk bercengkrama dengan kematian. Mungkin baginya, mati tak lebih sakit dibanding hidup. Aku hanya gadis yang sempat tinggal di dalam rahimnya. Terkadang aku mendengar ia melagukan elegi lamat-lamat. Namun tiada satu pun lagu penyesalan di antaranya. Padahal, ada sejagat tanya yang merambati kepalaku, mengapa?
Terkadang, ia menyuguhkan senyum tipis sambil mengusap-usap tangan kirinya sendiri. Tangan kiri yang penuh lebam membiru. Kegeraman lelaki itu adalah pemicunya. Hingga kini aku tak juga mengambang pada titik paham terkecilku. Ia tak juga jujur pada hatinya walau lelah bukan lagi kata yang cocok untuk dirinya. Ia mati ketika hidup, menumpuk berlapis-lapis ikhlas yang tak patut diikhlaskan. Ia menikah tanpa merasakan cinta, karena mata tak tahu cara berdusta. Entah dengan cara apa, ia bertahan bertahun-tahun.
“Ini memang salahku. Ayahmu memang temperamen, tapi ia laki-laki yang kuat. Orangtuaku tak salah menikahkanku dengannya. Karenanya pula, aku bisa memilikimu. Jangan merajuk, aku tidak merasa sakit.” adalah dusta yang telah letih—tertatih-tatih—menyusupi kedua telingaku. Dan juga dusta-dusta lain yang sering mampir ketika protesku dilancarkan. Aku tak ingin berakhir seperti itu, maka selepas melihat senyum pretensi miliknya untuk yang kesekian kali, aku mulai menghitung mundur, mencoret angka-angka di permukaan kalender. Di penghujung tahun, aku akan pergi dari tempat ini, melarikan diri bersama kekasihku. Sebelum aku berakhir sama dengan ibuku yang bodoh.
“Cepatlah selesaikan studimu,” ujar lelaki itu.
Untuk apa?
Kemudian lelaki itu akan memijit tombol ponselnya yang sudah ketinggalan zaman, memperlihatkan foto beberapa pemuda kaya yang katanya tak keberatan meminangku. Dengan mendesak, ia menuding kertas-kertas berisi hasil studiku yang tidak bisa dikatakan berhasil. Aku mendengus keras. Ia bahkan tak pernah merasakan duduk di bangku kuliah, dan tak tahu betapa sulitnya mengejar angka sempurna. Suatu saat aku akan benar-benar dipaksanya menikahi mesin duit.
Detik dalam hidupku yang sanggup kuhargai hanyalah saat mencium bau kopi yang mengepul hangat dari mesin otomatis milik kekasihku. Ia akan menyalakan dua lilin putih kecil di dua sisi meja dan menyetel lagu jazz setelah memadamkan seluruh lampu. Mendengarkan keluhan berantai dari bibirku, kemudian menyanjungku bertubi-tubi. Remai pada seluruh tubuhku kemudian akan luruh menyesapi ubin di bawah kaki kami. Ia punya segala hal manis hingga aku yakin di balik rak-rak buku miliknya tersimpan puluhan cincin perak yang setiap malam berulang kali dipilihnya untuk melamarku.
“Aku akan membawamu pergi jauh akhir tahun ini.”
Kupastikan ia tak berdusta. Setelahnya setiap malam kuabsen benda-benda yang akan kubawa pergi. Tak perlu terlalu banyak blus dan rok renda. Yang penting aku bisa meregat jarakku dengan bahagia yang selalu timbul tenggelam, tak terpeluk. Kulayani keinginan lelaki itu, ayahku. Dengan sedikit berdandan, kusambut kedatangan beberapa lelaki kaya di ambang pintu kayu rumahku. Makan sedikit, berbincang mengenai ambisi-ambisi kosong, mendengarkan mereka memamerkan kekayaannya, berpura-pura tertawa, mengantar mereka hingga gerbang depan, dan melambaikan tangan pada Alphard atau Ferarri yang meluncur dengan bunyi mesin merdu.
Sebentar lagi, sebentar lagi.
Kusortir beberapa buku dan kumasukkan ke dalam tas ransel tak bermerek milikku, beberapa sepatu murah, kosmetik, dan beberapa CD musik band favoritku. Hari berikutnya, kukeluarkan lagi benda-benda itu dan kusortir ulang. Persiapanku tak boleh salah. Aku tak akan kembali lagi ke rumah ini. Maka aku berkutat dengan berulang kali yang nyaris tak selesai. Di antara hari-hari itu, kubeli kain bahan mahal, dan kunyalakan mesin jahitku, merangkai berlapis-lapis daster dan blus cantik untuk ibu. Kuganti air pada vas-vas bunga di sisi jendela, menulis dua lembar surat, dan menyelipkannya pada tumpukan seprai bersih. Kutatap wajah kuyu itu. perlahan, pelan-pelan. Keriput itu, seakan membelah diri setiap hari. Kutahan apa yang sesungguhnya tak bisa kutahan. Dengan tak rela kulepaskan tangis pelan-pelan, kurengkuh ia, menerima respon lemah yang sudah biasa kulihat.
“Aku akan pergi, Bu.”
Ia tersenyum.
“Aku akan pergi. Segera.”
Tak sedikit pun digesernya kedua bola mata itu.
“Kau tak mengerti, Nak. Kau tak mengerti,” bisiknya datar.
Aku ingin kembali menangis, tapi tak sudi.


***


Aku percaya dapat menyentuh cakrawala—pun percaya dapat memiliki kelembutan awan yang menaunginya. Segalanya mungkin kala aku menatap kedua hitam legam matanya. Ia tiba, tiba-tiba, mengurai rindu yang tak habis-habis. Mata yang sama sekali berbeda dengan milik lelaki bertitel ayah itu. Mata yang menjanjikan bahagia. Jika jatuh cinta memang harus sepekat ini, maka akan kubiarkan diriku tenggelam dalam-dalam. Pertemuan kami tak istimewa, hanya sepaket lirikan-lirikan yang sembunyi di balik cangkir kopi. Namun, kali pertama aku melihatnya, kala itu pula aku takut kehilangannya.
Suara jerit dan tangis yang menggema di sepanjang lorong kepalaku tergantikan dengan miniatur surga yang dibangun pelan-pelan olehnya. Kenangan buruk berlipatan dan melayang-layang samar di permukaan imaji. Jika ada waktu yang lebih abadi dibanding selamanya, akan kupilih untuk menetap bersamanya. Tentu, begitu ia berkata akan membawaku pergi jauh, egoku berkumpul dan aku tak butuh banyak waktu untuk memilih—hingga akhirnya aku selesai mengepak barang—dan yakin dengan segala yang kusiapkan matang-matang.
Sesaat setelah pergantian hari, selepas kembang api lelah menyulut langit, saat jarum jam bimbang di antara angka satu dan dua, kujinjitkan kaki agar langkahku luput tak terdengar. Kuseret koper berukuran sedang perlahan, menuju beranda rumahku yang kini terasa sedikit lebih hangat. Kemudian, kunaiki taksi yang sudah beberapa jam lalu kupesan. Rumah kekasihku akan menjadi tempat kami duduk sebentar menikmati detik-detik sebelum kepergian kami. Ke tempat jauh, seperti yang dijanjikan olehnya.
Aku merenung sekali lagi, mengingat wajah ibu yang terlihat gamang. Walau kuajak ia ikut serta, ia pasti akan segera menolak. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk orang sekejam ayah. Tak terhitung lebam di permukaan kulitnya, namun tetap tinggal di sisi ayah bukan lagi sebuah opsi, melainkan kewajiban. Aku tak bisa membiarkan diriku merasa bersalah. Karena seluruh letak kesalahan hanya ada pada poros kehidupan di rumah itu. Aku memang harus pergi, segera atau tidak.
Senyum tak lagi luput kala aku menjejakkan kakiku di pekarangan rumah kekasihku. Tempat di mana kami bertukar cerita di antara kepulan uap kopi dan terang lilin. Perlu waktu beberapa lama sebelum senyumku memudar, seiring langkah kakiku. Tak terlihat Datsun biru yang biasa terparkir di garasi rumahnya. Kupercepat langkahku, memencet bel satu kali. Tiada jawaban. Tiada suara. Sekali lagi kutekan bel itu, kuketuk pintu beberapa kali, dengan agak putus asa. Hanya kekosongan yang menjelma jarum-jarum beku—mencengkram tengkukku—memicu ketakutan di dalam dadaku.
Lewat jendela kaca tembus pandang, dapat kulihat perabot yang hilang seluruhnya. Rak buku, meja kecil, mesin kopi, kursi kayu, dan dua buah sofa tak dapat lagi terlihat. Aku mulai merasakan sesak yang tak terperikan. Di antara dinding-dinding beton, ruang itu melirihkan kekosongan yang pedih.
Tak lagi dapat kuhitung berapa kali kuketuk pintu itu membabi buta, di antara asa yang sirna.


***


Pagi yang lembab.
Seorang lelaki dengan keriput pasti di beberapa titik wajahnya tengah menyusun bongkah es, perlahan, dengan wajah sedih yang dalam. Dari ujung matanya, ia kemudian menangkap kehadiran sosok yang berjalan melalui pintu belakang. Satu lagi lebam tercipta pada wajah cantiknya yang di ambang renta. Dengan tenang, Ia duduk di sebuah kursi kayu, menghadap lelaki itu. tangis, lamat-lamat menjejaki wajah sang lelaki. Air mata yang selalu sembunyi, diam-diam di balik wajah kerasnya. Ditatapnya lekat-lekat wanita itu.
“Maafkan aku.”
Sebuah senyum kembali hadir pada wajah wanita itu. Ia telah menghapal lika-liku jalan pikiran lelaki itu. Tak pernah ada emosi yang meninggi pada dadanya karena itu. Dibiarkannya jemari lelaki itu bergerak lembut mengompres bekas biru pada pipinya di antara lirih tangis. Ini selalu terjadi, ia tahu. Lelaki itu perlahan mengecup punggung tangannya.
Melalui air hangat yang berguling bertubi-tubi, cinta menghujan tak berkesudahan dari kedua bola mata lelaki itu.


***

0
Share
A DAY WITH DEE LESTARI: “Kepingan Supernova”


Minggu 2 April 2017, bertempat di kafe Le seminyak Cipete, sebuah acara khusus yang menghadirkan narasumber penulis terkenal,  Dewi Lestari, diadakan. Acara tersebut bernama “A day with Dee lestari”. Acara ini mengusung sebuah tema, yaitu ‘Kamu Bertanya, Dee Lestari menjawab’.
“A day with Dee Lestari” merupakan acara spesial yang diselenggarakan oleh Bentang Pustaka dan Komunitas Supernova. Dengan diadakannya acara ini, pebaca diberikan kesempatan untuk bisa bercengkrama dengan Dee Lestari, sekaligus menghadiri peluncuran buku Dee Lestari yang terbaru. Yaitu “Kepingan Supernova”.
Cover Kepingan Supernova
Bagi yang mengikuti serial Supernova, pasti sudah tak asing lagi dengan kata-kata menyentuh yang terdapat pada keenam buku tersebut. Maka dari itu, buku ini diterbitkan sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap puisi-puisi Mbak Dee. Menurut Dee Lestari sendiri, buku ini sudah direncanakan bertahun-tahun sebelumnya sebagai salam perpisahan untuk Supernova yang tidak akan dilanjutkan lagi. Karena serial supernova sudah selesai pada serial yang terakhir, yaitu “Inteligensi Embun Pagi”.
Rangkaian acara dimulai dengan penampilan Dee Lestari yang bernyanyi dan membaca puisi pukul 13.00 WIB. Ia bernyanyi dengan diiringi musik oleh suaminya, Reza Gunawan. Puisi yang dibacakan oleh Dee Lestari ialah puisi-puisi yang berada di Serial Supernova “Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”.


‘Sudah kumenangkan taruhan ini,
Bahkan dengan amat adil
Jauh sebelum kau menyerahkan kertas dan pensil.
Karena rinduku menetas sebanyak tetes gerimis.
Tidak butuh kertas, atau coretan garis.
Genggamlah jantungku dan hitung denyutnya.
Sebanyak itulah aku merindukanmu, Putri”

Dee Lestari Menjawab Pertanyaan Peserta
Karena acara pokoknya ialah berbincang-bincang bersama, maka peserta begitu antusias dalam acara ini. Banyak pertanyaan yang ditampung oleh moderator dan dijawab oleh Dee  Lestari. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dimulai dari Bagaimana masa muda Dee Lestari, bagaimana mengatasi krisis dalam menulis, siapa saja tokoh yang sangat susah ditulis dan menjadi favorit, bagaimana pengalaman spiritualitas Dee Lestari sendiri, sampai ke pertanyaan bagaimana Dee Lestari melakukan riset dalam serial Supernova. Dan masih banyak lagi.
Semua pertanyaan disampaikan dengan rasa penasaran masing-masing peserta terhadap serial Supernova. Serial tersebut memang selalu menyimpan misteri dan teka-teki dalam setiap serialnya. Terlebih, apakah serial tersebut benar-benar tamat atau tidak.  Dee Lestari sendiri menjawab, akan melanjutkan “Permata” bukan dalam bentuk serial. Jadi, buku itu sudah terlepas dari Serial Supernova dan akan diterbitkan dalam bentuk buku tunggal.
Dee lestari sendiri sudah senang menulis sejak kecil. Hanya saja ia baru berani menerbitkan buku pada tahun 2001. Yaitu “Supernova: Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”. Novel tersebut mulanya ia cetak sendiri sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 25 tahun. Hingga ia sampai pada titik untuk memutuskan keluar dari grup vokalnya RSD dan ingin fokus terhadap dunia kepenulisannya.
15 tahun perjalanan Serial Supernova, menambah pesona Mbak Dee dalam bidang Sastra. Supernova  merupakan serial Dee lestari yang dibangun dari pengalamannya sendiri. Baik pengalaman keluarganya, asmaranya, dan lebih condong ke spiritualitasnya. Dee Lestari menanggapi spiritualitasnya sebagai sosok yang tak perlu dicari. Karena ia datang dengan sendirinya tanpa diminta.  Sebagai contohnya ialah quotes dari Supernova, “Akar”:
‘Tak ada yang bisa menduga kapan mukjizat hadir, lewat siapa, dan dengan cara apa’
Atau pada quotes dari Supernova, “Partikel”:
‘Dunia dewa dan dunia manusia memang tak mungkin bersatu. Salah seorang harus rela menyebrang’
Tiga jam berlalu. Pukul tiga sore, sesi tanya jawab ditutup. Selanjutnya ialah sesi foto bersama dan sesi tanda tangan diselingi coffee break. Panitia menyiapkan tanda pengenal untuk peserta, sehingga masing-masing peserta dapat saling berkenalan dengan teman baru. Dengan biaya Rp.200.000, peserta sudah mendapatkan tiket coffee break, goodie bag, kaos, notes, dan tentu saja buku terbaru Dee Lestari.
Sebagian besar peserta memang menyangka bahwa buku terbaru Dee Lestari ialah kelanjutan dari Supernova. Ternyata dugaan peserta salah besar. Buku itu hanyalah sebagai penawar rindu pada serial supernova yang sudah diterbitkan dan dirangkum kembali dalam bentuk kumpulan kata-kata, seperti judulnya, “Kepingan Supernova”.

-Fauziannisa
-o-

0
Share
Mushab Askarulloh


Membaca (atau melihat) karya seni, tentu tidak bisa dilakukan dengan satu cara pandang saja. Estetika—baik itu bentuk maupun wacana—selalu bergerak menuju suatu upaya perubahan, yang didorong oleh sebuah pemikiran atau keadaan zaman. Sedehananya, kita tentu tidak bisa menyandingkan lukisan Da Vinci dengan lukisan Picasso, atau Frida Kahlo, dan melihatnya dengan perspektif yang seragam. Atau membaca puisi Sapardi dan puisi Afrizal Malna dengan pisau kritik yang sama. Masing-masing karya seni tentu memiliki substansi serta pijakan setetikanya masing-masing. Jika kita memaksakan suatu cara pandang tertentu terhadap jenis estetika yang beragam, tentu itu akan mencederai maksud dari seniman atau pengarang yang membuatnya.
Keberagaman tafsir merupakan salah satu efek dari melihat atau membaca karya seni, terutama karya sastra. Teks sastra bisa sangat menjebak pembaca ke dalam labirin tafsir yang kisruh. Jalan manakah yang dapat membawa kita mendekati kebenaran. Atau, bahkan mungkin pertanyaannya adalah apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kebenaran itu.  Maka dari itu, untuk mencapai sebuah destinasi tafsir yang (mungkin) benar, mula-mula pembaca juga harus bisa menemukan pijakan darimana ia berangkat.
Membaca teks-teks drama Arifin C. Noer, adalah seperti tersesat di labirin itu. Bahkan bukan hanya labirin, namun juga pintu-pintu yang bertebaran dengan simbol-simbol yang asing di setiap pintunya. Drama Arifin bukanlah sebuah jalan lurus. Pembaca membutuhkan sebuah formula dan bahan bakar pengetahuan yang cukup untuk bisa sampai ke garis akhir. Misalnya ketika membaca teks drama caturlogi Orkes Madun, terutama bagian keduanya, Atawa Umang-Umang. Di dalam teks ini, wacana-wacana saling berhamburan dan tumpang tindih. persoalan sosial yang menjadi arus utama, terus ditaburi dengan narasi-narasi lain seperti religiusitas dan keterasingan, yang kemudian mengalirkan arusnya masing-masing.
Selain hal-hal tersebut, yang paling menyita perhatian pembaca tentu saja adalah bagaimana Arifin menghadirkan tokoh Waska dan Semar. Kedua tokoh ini sejatinya adalah tokoh yang berbeda dengan peran yang berbeda pula, namun mereka hidup di dalam tubuh yang sama. Kemunculan masing-masing dari mereka seperti menjadi sebuah penanda telah bergantinya dimensi di dalam pertunjukan. Waska yang merupakan sebuah tokoh di dalam cerita utama, sesekali bertukar dengan Semar, yang sekaligus melepaskan dirinya dari tubuh pertunjukan dan mengambil peran sebagai semacam narator yang bercerita kepada penonton.
Fungsi Semar sebagai narator inilah yang kiranya perlu untuk dicurigai. Narator atau pencerita tentu memiliki fungsi sebagai penyampai cerita. Kita sebagai pembaca tentu sudah paham bahwa teks drama memanglah sebuah cerita. Lalu mengapa di dalam sebuah cerita—yang jelas-jelas kita sudah tahu betul bahwa ini adalah sebuah cerita—perlu sebuah penegasan bahwa ini memang adalah sebuah cerita?
Pada sekitar akhir abad 19 (atau mungkin awal abad 20) muncul seorang tokoh teater bernama Constantine Stanislavski. Ia memperkenalkan dan mengembangkan sebuah metode pertunjukan bernama realisme. Pokok pemikirannya adalah tentang bagaimana sebuah pertunjukan bisa dengan sempurna menghadirkan potongan-potongan dari kehidupan nyata di atas panggung. Metode ini terbukti sangat menyita perhatian dan dianggap penting di dalam khasanah seni pertunjukan dunia. Metode ini dianggap menjadi sebuah jalan keluar dari kebuntuan bentuk pertunjukan histronik yang mulai membosankan.
Namun, dalam pandangan sosialisme-kiri yang lebih tajam, bentuk estetika yang dibawa oleh Stanislavski ini justru dipandang sebagai sebuah ilusi yang memabukkan. ‘Realitas sebenar-benarnya’ yang dihadirkan di atas panggung ini menjadi sebuah katarsis, yang justru menciptakan dinding tebal antara pertunjukan dan kenyataan. Penonton dibawa hanyut terlalu jauh ke dalam realitas fiksi di atas panggung, hingga melupakan wacana-wacana di dunia nyata yang menjadi mimesisnya.
Menanggapi keresahan tersebut, beberapa tahun kemudian muncul sebuah gerakan estetika pertunjukan yang mencoba “mengembalikan” kesadaran penonton untuk melihat realita dan permasalahan-permasalahan yang terjadi di dunia nyata. Metode ini dikembangkan oleh Bertold Brecht dan diistilahkan dengan nama “teater epik”. Teater epik, dalam pertunjukannya, selalu berupaya menghadirkan guncangan-guncangan, untuk mencegah dan menyadarkan penonton dari keterhanyutannya dalam menonton pertunjukan. Ia selalu berupaya menyadarkan penonton bahwa apa yang sedang disaksikannya di atas panggung adalah hanya sebuah kebohongan. Bahwa realitas yang sebenarnya adalah apa yang terjadi di luar sana, di dunia nyata.
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam metode ini, salah satunya adalah dengan interaksi antara pelaku pertunjukan dengan penonton. Cara ini dianggap efektif menghancurkan dinding ilusi pertunjukan, dan menyadarkan penonton bahwa apa yang sedang mereka saksikan adalah semata-mata sebuah dunia fiksi.
Dalam teks drama Umang-Umang, Arifin seperti ingin mengadopsi metode teater epik ini. Transformasi Waska menjadi Semar dan lepasnya dia dari tubuh pertunjukan, seolah menjadi sebuah tamparan keras bagi penonton, untuk menyadarkan bahwa ini memang hanyalah sebuah dunia pertunjukan yang fiktif. Tentu ini bukan tanpa sebab. Arifin tentu tidak main-main dengan bentuk pertunjukan seperti ini. Dia tidak ingin narasi-narasi tentang orang-orang terpinggir, tentang tatanan dan keadaan sosial yang kacau ini hanya menjadi tontonan sepintas lalu. Seperti juga Brecht, Arifin ingin mengawal gerak-pikir penontonnya menuju kepekaan terhadap realitas sosial di dunia nyata.
Seperti yang sudah disebutkan di awal, membaca sebuah teks sastra tentu membutuhkan pijakan estetika yang tepat dan sesuai kebutuhan untuk menghindari kesalahan-kesalahan tafsir. Terutama kepada teks pertunjukan. Penafsiran yang semena-mena terhadap teks drama tentu akan menciptakan pertunjukan yang nirsubstansi dan banal. Sebagai pegiat seni pertunjukan, tentu kita tidak menginginkan hal tersebut.

Jakarta, 24 Maret 2017

0
Share
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Selamat Datang!

www.BengkelSastra.com

Selamat datang di situs Bengkel Sastra. Di sini Anda akan menemukan informasi seputar sastra dan budaya. Anda juga dapat melihat hasil karya dari anggota Bengkel Sastra seperti puisi, cerpen, dan lainnya.

Follow Us

  • google+
  • youtube
  • twitter
  • instagram

Berlangganan via Email

Arsip Blog

  • ►  2018 (5)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2017 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Mei (3)
    • ▼  April (4)
      • Wawan Kopong: 100 Hari Jejak Karyamu
      • CERPEN: Reversi
      • A Day with Dee Lestari
      • ESAI: Mencari Pijakan Membaca Waska
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (8)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2016 (2)
    • ►  November (2)

Facebook Page

Google+ Followers

Pengikut

Statistik

Bengkel Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Mentang-mentang dari New York
  • Ulasan Lakon ‘Opera Kecoa’ oleh Teater Koma (2016)
    Kamis, 10 November 2016 adalah hari pertama dari pementasan Teater Koma yang ke-146 dengan lakon Opera Kecoa yang diselenggarakan di Graha ...
  • Selebrasi Cinta
    Bengkel Sastra UNJ Menuju Satu Dekade mempersembahkan Mari rayakan Hari Puisi Internasional bersama Bengkel Sastra dalam Selebras...

Twitter

Tweets by @bengsas

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Copyright © 2015 Bengkel Sastra

Created By ThemeXpose