Pages

  • Portfolio
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
youtube google+ twitter instagram
Bengkel Sastra

  • Home
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Kontak
    • Kepengurusan
  • Berita
    • Sastra
    • Budaya
  • Kategori
    • Puisi
    • Ulasan
      • Puisi
      • Cerpen
      • Naskah Drama
      • Novel
      • Film
      • Pertunjukkan Teater
    • Cerpen
    • Naskah Drama
    • Pementasan Teater
  • Info Acara
  • Karya
Dantjé 
Bima Dewanto
Ilustrasi oleh Khurin Imandini

Setelah masuk ke liang lahat, semua berubah gelap. Wangi melati yang sedari tadi menemani saya sepanjang perjalanan kini telah hilang. Hanya tanah dari dalam liang dan kayu dari peti yang memancarkan bau dari dalam sini.
Setelah masuk ke liang lahat, semua berubah gelap. Lantunan doa pengantar yang sedari semalam saya dengar begitu indah kini hilang perlahan berbarengan dengan ditutupnya liang. Suara isak tangis yang saya dengar menderu-deru senyap seketika.
Setelah masuk ke liang lahat, semua berubah gelap. Perlahan saya mulai mengucapkan salam untuk kegelapan yang kini menjadi teman saya di dalam sini. Aroma kayu dan tanah juga berbalik mengucapkan salam selamat datang bersama dengan berbaringnya saya di dalam sini.
Seperti nyawa mulai kembali, jiwa datang lagi, raga bergerak perlahan membuat jemari menari kecil. Baru sekitar sepuluh menit saya tidur di dalam sini, bosan sudah datang. Sama halnya seperti yang saya lakukan semasa hidup, bernyanyi. Melantunkan sebuah lagu yang mungkin bisa membuat kebosanan ini luntur. Sebelum malaikat datang ke ruangan sempit ini dan melakukan interview selama masa hidup saya. Bedanya kali ini tidak diperlukan daftar riwayat hidup dan sertifikat yang biasanya dibutuhkan. Saya di kuburan.
“I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I think to myself what a wonderful world”
Lirik demi lirik saya lantunkan perlahan, namun bosan tidak juga hilang, pergi meninggalkan saya. Kemana malaikat yang katanya akan datang menemui saya? Cepat datang, saya bosan. Walaupun saya tahu nantinya saya akan dihakimi karena perbuatan saya semasa hidup. Tapi setidaknya ada kegiatan yang dilakukan di dalam sini selain memandangi gelap dan menghirup bau tanah. Apa mereka tidak akan datang?
Saya berharap kehidupan baru saya di liang ini tidak sama seperti di dunia. Pasalnya, kesepian selalu menemani saya selama hidup. Saya lahir tanpa ibu yang menyusui saya dan ditemani ayah yang fisiknya saja tidak pernah saya sentuh karena bekerja pagi bertemu pagi. Belum lagi sanak saudara yang tinggalnya sangat jauh dari rumah. Tetangga saja enggan mengenal keluarga saya karena rumah yang selalu tertutup.
Sekolah, saya hanya bermain dengan sebuah buku catatan yang menampung banyak materi yang saya pelajari. Tidak bosan saya baca berulang-ulang baik untuk memahaminya kembali atau hanya sekedar iseng. Jarang sekali satu, dua orang yang menjadi teman untuk saya karena pribadi saya yang tertutup.
“I see skies of blue and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself what a wonderful world”
Itu lanjutan lagu yang saya lantunkan, tapi suaranya datang dari liang di sebelah saya. Suara wanita, tidak begitu bagus, malahan rapuh. Tapi saya terhanyut mendengarkannya. Perasaannya tulus melantunkan lirik tiap lirik.
“Saya terkesan.” puji saya yang masih mendengarkan suaranya.
Lagu terhenti, mungkin ia hendak menjawab pujian saya. Sekedar ucapan terimakasih mungkin.
“Saya rindu hidup.” katanya.
Saya mulai memikirkan kalimatnya barusan. Berarti ia telah lama berbaring di sini. Mungkin ia adalah seorang nenek yang mati karena sakit sehingga ia merindukan anak dan cucunya.
“Saya rindu ketika kelambu menutup rapat ranjang ketika saya tidur dengan gaun tebal.” lanjutnya, cerita yang tidak saya tanyakan.
“Teriakan ayah yang memerintahkan pesuruh untuk menghukum pribumi yang tidak menyerahkan hasil taninya”
Kebosanan yang saya rasakan mulai berganti dengan kebingungan yang menindih saya lebih rapat dibandingkan tutup peti di atas saya sekarang.
Kemudian ia menceritakan kehidupannya yang lebih sepi. Dantjé namanya, seorang anak keturunan Belanda yang tinggal ikut ayahnya semasa penjajahan dulu. Ayahnya adalah seorang jenderal yang berkuasa untuk mengambil hasil tani dan kebun para penduduk pribumi. Dantjé bahagia ketika nyawanya di lepas dari raganya. Sebab semasa hidup yang dirasakan hanyalah kesendirian.
Ayahnya sibuk menginjak-injak pribumi yang menentangnya. Ibunya sibuk memamerkan kekayaan curiannya dengan teman-teman sebangsanya yang tinggal di sini. Adik laki-laki yang saat itu berumur lima tahun dipaksa untuk berlatih perang guna melanjutkan takhta ayahnya nanti. Sementara dirinya sendiri, Dantjé yang sepi.
Kehidupannya sehari-hari hanya untuk menunggu setiap lelaki Belanda yang datang untuk melamarnya. Tetapi lelaki yang diharapkan tidak pernah datang.
“Saya bakar foto-foto lelaki yang diberikan ibu kepada saya untuk memilihnya menjadi pendamping hidup. Semuanya adalah anak jenderal dan atau yang lebih tinggi.” paparnya.
“Saya mencintainya. Lelaki yang membawakan ayah hasil tani dan membawakan saya sebotol susu.” lanjutnya.
Jadi ini masalah cinta yang sering saya baca dari buku-buku klasik semasa hidup dulu. Kesepian yang ia rasakan ternyata jauh lebih dahsyat daripada saya. Kesepian batin, sebut saja. Saya merasakan semua emosi yang ia pendam semasa hidup tertuang di dalam sini. Sementara saya menunggu malaikat yang ‘katanya’ akan menemui saya.
Kemudian ia menceritakan tentang lelaki itu. Lelaki yang membawakannya susu. Pribumi yang sangat rajin menyetorkan hasilnya kepada sang jenderal. Walaupun ia tahu itu berat baginya dan hasil yang diberikan juga sama sekali tidak mengandung ikhlas di dalamnya. Tapi ini yang dikagumi olehnya, konsistensi. Bukan. Bukan konsistensi.
Lelaki itu pernah bilang bahwa hasil tani yang diberikan tidak ada apa-apanya selain bisa melihat Dantjé. Ia memberikan hasilnya agar bisa berkunjung ke kediaman jenderal dan menatap Dantjé. Satu, dua, hingga hari-hari berikutnya mereka berdua semakin dekat. Dantjé sudah bisa menghilangkan rasa kesendiriannya itu.
Tapi memang benar adanya cerita Romeo dan Juliet. Jenderal mengetahui kedekatan mereka dan melarang Dantjé berhubungan dengannya. Lelaki itu dibuang dari desa agar tidak pernah bisa menemui Dantjé kembali.
Bulan demi bulan ia lalui tanpa tatap muka dengan lelaki itu. Kesepian yang merangkulnya kembali bukan apa-apa dibanding rasa rindu yang lebih besar. Dantjé tidak betah dengan kesendiriannya di kamar dan pikirannya yang terus menuju ke lelaki itu. Raganya masih utuh namun jiwanya hilang pergi terbawa olehnya. Sudah tidak ada lagi rasa dalam tubuhnya saat ini. Merasakan tidak berguna-nya hidup di dunia, Dantjé memutuskan untuk mengakhiri masanya.
“Saya minum saja susu yang telah saya simpan selama berbulan-bulan lalu untuk mengobati rasa rindu.” katanya.
Kemudian saya mencoba berani bertanya kepadanya, “lalu apa rindu itu hilang?”
“Hilang. Rindu itu lenyap bersamaan dengan nyawa saya.” Hingga akhirnya ia mati dan dimakamkan di sini.
Kemudian saya diam sejenak memikirkan apa yang telah ia ceritakan. Saya teringat kembali soal malaikat yang ‘katanya’ akan menemui saya. Tapi hingga sekarang, mereka tidak kunjung datang.
“Kemana malaikatmu?” Tanyanya kepada saya, seakan-akan ia tahu apa yang sedang saya pikirkan.
“Tidak tahu. Saya memikirkannya sedari tadi.”
Kemudian ia diam dan percakapan kami sempat habis sampai di situ.
“Mereka tidak akan datang ke sini.” katanya kembali berbicara.
Sontak saya dibebani bingung yang lebih berat dari sebelumnya. Bukankan sudah takdirnya untuk malaikat datang menjumpai orang yang baru saja dimakamkan?
“Jika kamu mau didatangi, maka pindahkan makammu ke tempat lain.”
Apa-apaan ini. Masa iya saya pindah makam.
“Mereka tidak ingin berkunjung ke makam saya. Begitupun dengan makam yang berada di dekatnya”
“Kenapa? Bukannya sudah tugas mereka?”
Dia terdiam lama. Hingga akhirnya tidak ada lagi percakapan di antara kami. Setiap halnya membuat saya bingung. Lihat saja dari awal ia melanjutkan lagu yang saya nyanyikan. Memangnya sudah ada lagu itu sebelum ia meninggal? Lalu, apa iya susu yang membuat nyawanya hilang? Belum lagi pertanyaan saya tentang malaikat yang enggan datang ke makam ini.
Semuanya membuat saya bingung. Sangat bingung. Hingga saya lupa kejenuhan yang saya rasakan.
“Kamu tahu…” katanya yang kembali membuka perbincangan.
“Malaikat benci kesepian” lanjut-nya.
___
“Yes, I think to myself what a wonderful world”
___


Jakarta, 9 Februari 2017

Allianz Tower 29th Floor

0
Share
Jangan Suka Lempar Batu
Khurin Nurlaili Imandini

Ilustrasi oleh Andriani

Sebuah batu sedang tersenyum dalam genggaman laki-laki bernama Kusno. Kalaulah sebuah batu punya tangan, mungkin kini ia tengah melambai-lambai pada ikan-ikan di sungai. Ikan-ikan menangis bahagia bercampur tidak siap kehilangan sahabat, begitu juga Si Batu, Pramudi namanya. Nama itu ia dapat dari tiga orang sahabatnya yang seekor ikan, Merry, Bella, dan Leo. Batu punya nama, ikan pun punya namanya masing-masing. Kakap, mujaer, lele, sepat, kalau saja semua ikan di kali tahu diberi nama yang seragam dan begitu buruk oleh manusia, sahabat-sahabatnya itu pasti merasa sedih. 
Sejam lalu diangkatlah Pramudi dari dasar sungai, kadar air dalam tubuhnya sudah menurun sampai separuhnya, pori-pori halus di tubunya dilewati udara lagi setelah puluhan tahun terisi hanya oleh air. Si Kusno, tukang seser ikan yang beberapa kali kakinya sempat menginjaknya di kali, menaruhnya di dalam saku. Di dalam tak kelihatan apa pun selain dua uang logam lima ratusan, sebatang rokok, korek api, dan dua lembar lima ribu rupiah. Tadinya sepi, sampai sebatang rokok tinggal separuh di mulut Kusno, kemudian terdengar suara ibu-ibu, bau ikan asin, bunga kecombrang, dan darah ayam. Lima menit kemudian suara tiga bocah tanggung nongol, bunyi tektaktektak keypad handphone, suara mbah-mbah, bapak-bapak, dan tak lama setelah itu sebuah kalimat yang ia pernah kenal dari cerita Merry mampir di telinganya, “Ikan hiasnya bu, dua puluh ribu lima, sepuluh ribu dua, tujuh ribu satu.” Nada bicara orang padang, tak salah lagi dulu Merry pernah jadi ikan dagangan di pangakalan angkot depan SMP Negeri di depan pasar ikan. 
Suara mesin angkot berderu, Pramudi berpindah pada keramaian lain, tapi bau amis, bau sirih, ayam potong, kecombrang, dan solar, makin bercampur dengan macam-macam bau keringat penumpang.
Kusno menyalakan rokok keduanya. Pramudi tertidur di dalam saku. Dalam tidurnya ia bermimpi tentang seorang anak yang dulu membuatnya hidup di dasar kali selama puluhan tahun. Sesungguhnya ia benci luar biasa karena anak itu membuatnya hidup lembab dan kedinginan di dasar kali, namun rasanya tidak pantas ia membenci bocah yang hidupnya sudah begitu malang.
Namanya Bonang, hampir tiap hari ia memancing di pinggir kali agar adik-adiknya yang masih balita bisa makan dengan lauk ikan. Tiap ketahuan datang, ketiga sahabatnya akan mengkordinir ikan-ikan lain untuk sembunyi di bawah akar pohon bambu. Tak jarang setiap magrib tiba Bonang pulang dengan tangan kosong sambil menangis karena membayangkan adik-adiknya makan nasi garam lagi malam ini.
Ia ingat benar rupa anak itu, rupawan, putih bersih, sedikit kumisan, tapi cengengnya bukan main. Sore itu ia tengah menangis di pinggir kali sambil memanggil-manggil nama mantan kekasih yang baru saja memutuskannya lewat surat sejam yang lalu. Belum lama ini salah seorang teman mengadu padanya sering melihat perempuan yang paling ia cintai itu dibonceng oleh anak kolektor barang antik pindahan dari kota, anak orang paling kaya di desanya.
***
Pagi itu, udara masih menusuk tulang. Seperti hari-hari lainnya, saat itu Bonang menempatkan “teman putih” di kantongnya. Menunggu waktu kosong untuk sekedar menghirup kepulan manis, yang semanis senyum Armita.
Bonang melangkah tidak sabar. Aku terantuk, atau tepatnya terkocok-kocok dengan teman putih di kantongnya, dengan empat keping uang logam lima ratusan. Jelas ada pemicu dari langkahnya ini. Tidak peduli, batu tetaplah batu. Kasihan teman putihnya ini, hampir remuk terkocok. Bonang bodoh. Batang serapuh ini dataruh dalam kantong sesak. Pantas saja ia tak punya uang.
Kali ini derap langkah Bonang berbeda dari biasanya. Biasanya, dengan melangkah kira-kira tiga ribu hentakan kaki, ia sudah duduk pada sekumpulan orang-orang seusianya. Tapi kini, setelah hampir lima ribu sembilan ratus delapan puluh enam hentak kaki—baiklah—sekarang genap lima ribu Sembilan ratus delapan puluh enam, ia belum juga duduk.
Tiba-tiba, aku melihat batang putih di sampingku diremas. Baiklah, ia sempurna hancur sekarang. Bonang bodoh. Sekarang tangannya berpindah mencari sesuatu. Aku. Aku diremasnya. Getaran emosinya menjalar dari remasannya. Ada sesuatu terjadi, entah apa, tapi sesuatu pasti terjadi.
Brem… brem… brrrrrrrrrrr… bising sekali suara itu. Bau bensin. Dengan gerakan spontan, Bonang berhenti meremas.
“Huk huk huk huk!” ia batuk, pastilah bau itu bau asap motor.
Tidak ada suara lagi setelah suara batuk. Hening bersama batang putih yang remuk di depanku. Hening ini begitu pedih. Disusul hentak kaki, kini hentaknya lebih cepat dari yang tadi, sepertinya Bonang berlari.
***
Tuk. Tuk. Putaran tujuh puluh derajat, tuk. Lima puluh derajat, tuk. Sembilan puluh derajat, tuk. Seterusnya dengan derajat tak karuan, aku diantuk pada sebuah meja. Bocah-bocah dengan seragam sama dengan Bonang, dengan usia sepantaran, duduk pada meja lain di depan meja Bonang, dekat abang-abang ketoprak, mi instan, dan warteg. Aku melihat matanya jauh menerawang. Matanya lalu digiring ke sebuah langkah gemulai, bocah putih perawakan padadjaran.
Semakin mendekat, semakin mendekat.
“Hai.” Sapanya. Sebentar Bonang terpana, lalu “hei”, sapanya.
Tahi lalat di ujung matanya, terbingkai poni mendayu-dayu, dihempas angin kipas angin. Sudut bibir ranumnya mengembang. Ah. Batu pun faseh berkata manis sekali.
“Kau baik-baik saja?” Tanya perempuan itu.
“Y, y, ya! Tentu! Aku cukup baik.” Bonang bodoh. Terang sekali dia gugup. Bengongnya amat tegas.
“Ayolah Bonang, jangan membuatku tersipu.” Rupanya ia tertawa atas basa-basi yang dilontarkannya sendiri. Wah, manisnya.
“Aku menyesal menatap matamu hari ini Armita!” sungguh aku tidak paham, peristiwa apa yang aku tidak saksikan. Bonang seketika itu berubah. Jika aku manusia, suasana ini dingin menusuk tulang rusuk terdalam.
Terlihat pula ekspresi nona ini. Ia tahu tawanya, segera akan membawa pilu. “Aku pergi bersama Mas Kus”
“Ya, aku tahu.” Bonang menatap datar. Tidak perlu ada kata lagi terlontar. Ia yakin akan ada penjelasan tanpa diminta.
“Ia sudah ada didepan rumahku saat aku keluar rumah.” Benar saja, keyakinannya membuktikan Armita membuka sebuah penjelasan.
Diam, jeda antara Bonang, Armita, aku, dan meja, dan beberapa pasang mata yang melirik kami.
“Lalu?” Bonang mengalah memecah diam.
“Aku tahu Ayah yang menyuruhnya menjemputku.”
“Lalu?”
“Aku pergi ke sekolah bersamanya, tapi aku mampir sebentar ke rumah kakek membawa nasi rantang.”
“Lalu?”
“Tidak adakah kata selain lalu yang keluar dari mulut itu, Bonang?” Armita jengah dengan lontaran “lalu” dari mulut Bonang, menegaskan penjelasan dari mulutnya bak angin lalu.
“Lalu?”
Armita mengangkat alis, sungguh bebal pria di depannya ini. Tidak adakah kata lain selain “lalu” dalam percakapan ini?
“Baiklah, lalu aku melihatmu menatapku bersama Mas Kus.”
“Lalu?”
“Aku minta maaf.”
“Tidak perlu.”
“Tidak, Bonang, aku perlu minta maaf. Sepertinya kita cukup sampai di sini.” Armita tercekat. Nampak sekali di wajahnya.
“Boleh aku berkata sesuatu, Armita?”
“Ya, tentu.”
“Pergilah.” Demi apa pun, suasana ini, tidak terdeskripsi.
Terlihat Armita diam. Bahkan dengan menundukkan kepalanya pun ia terlihat indah dan manis dengan dayuan poni miliknya. Sungguh kontras keindahannya dengan suasana ini. Tidak mampu menjadi deskripsi. Tentu Bonang tidak tahan melihat reaksi Armita.
Menjilat ludah bukan pilihan bagi seorang Bonang, betapa pun ia menyesal, dan ingin melakukan sesuatu, ia tak mungkin menjilat ludahnya sendiri. Akhirnya Ia berdiri, pergi tanpa sepatah kata untuk ditinggalkan demi Armita yang terdiam.
Lagi. Aku diremas bonang.
***
Oh sungguh bonang, banyak yang tidak kau ketahui. Aku pun tidak mau kau mengetahui.tapi ini berat bonang, sementara hanya dua kata dalam perbincangan tadi yang keluar dari mulutmu. Apa dayaku Bonang. Ayah tidak mau aku bersamamu. Aku yakin kau tahu itu. Tidak banyak yang mampu kau usahakan Bonang. Maafkan aku.
***
Bonang cuma bisa menangis melihat pacarnya pergi bersama Mas Kus, anak kuliahan parlente yang tunggangannya motor ninja hijau tua itu. Boro-boro kuliah, Bonang bahkan tiga tahun lalu tidak sampai lulus SMP karena uang SPP-nya harus dipakai buat bayar operasi sesar adik ketiganya. Bonang melamun sebentar, lalu menangis lagi.
“Armita, Armita.” lirih-lirih nama itu bergantian dengan isak tangis. Ia geram tak bisa merebut lagi kekasih hatinya. Diremasnya Si Pramudi yang berada di samping tangannya, tangan itu mengayun, Pramudi melayang, tubuhnya menghempas permukaan air. Apa mau dikata, alam sudah punya aturannya sendiri, massa jenis Pramudi lebih besar dari massa jenis air, jadilah ia perlahan-lahan sampai ke dasar kali.
Pramudi terbangun dari mimpinya, apa kabarnya ya si bocah cengeng itu?
Ia terbangun di tempat yang lain lagi, di rumah orang paling kaya sedesa Kali Amba. Ah, sekarang orang-orang desa ini sudah banyak yang kaya, ya, Pikirnya. Saking lamanya terheran dengan rumah megah dan koleksi kristal yang berjejer di lemari, ia sampai tak sadar sudah tak lagi dalam tangan mrengkel Kusno, melainkan di tangan putih alus perempuan yang suaranya lembut.
“Mas, tadi kaca rumah kita pecah lagi dilempari batu.”
“Biarlah Ar, mungkin Mas Kus masih dendam padaku.” Laki-laki itu menghela napas, lalu melipat koran sorenya sejenak.
Heh? Si Bonang? 
“Bukan padamu mas, tapi aku.” Armita lirih.

***

0
Share

Pada tanggal 16 Maret 2017, Bengkel Sastra UNJ mengadakan sebuah acara pameran puisi bernama “Selebrasi Cinta”. Acara ini sudah pernah diselenggarakan beberapa kali oleh Bengkel Sastra, dan kini Selebrasi cinta kembali dimeriahkan di Puri Lingua UNJ. Seperti slogannya, Bengkel Sastra menyuarakan kepada publik bahwa ungkapan cinta sesungguhnya tidak terpaut waktu. Orang-orang bisa mengungkapkan cintanya kapan saja melalui puisi, dan kali ini Bengkel sastra yang akan mewadahinya. Konsep ini juga dilatari dengan keputusan Bengkel Sastra yang menyelenggarakan acara ini sebulan setelah hari kasih sayang.



Selebrasi Cinta kali ini masih bertemakan tentang cinta, dengan subtema jatuh cinta dan patah hati, karena dua kondisi itu diyakini sebagai kondisi puncak cinta. Puisi yang dipamerkan pada pameran puisi Selebrasi Cinta adalah puisi yang dikumpulkan melalui email Bengkel Sastra yang dikirim oleh para penulis puisi yang ingin menuangkan rasa cintanya. Puisi juga dikumpulkan dari kotak puisi yang diletakkan di gedung Q UNJ. Selain puisi yang dikirimkan dan dikumpulkan, terdapat juga puisi kaget yang ditulis secara dadakan oleh orang-orang yang dimintai langsung untuk menuliskan puisinya satu hari sebelum acara pameran puisi berlangsung.


Para pengunjung pameran puisi Selebrasi Cinta tidak hanya datang untuk melihat pameran puisi, tetapi para pengunjung dapat langsung mengikuti vote puisi yang terdapat dalam pameran tersebut, dengan menggunakan stiker berbentuk hati yang dapat ditempel langsung pada puisi favorit pengunjung. Puisi yang diberikan stiker terbanyak  akan mendapat hadiah dari Bengkel Sastra dengan kategori puisi jatuh cinta terfavorit, puisi patah hati terfavorit, puisi kaget jatuh cinta terfavorit, dan puisi kaget patah hati terfavorit.





Selain puisi yang divote langsung oleh para pengunjung pameran puisi, Bengkel Sastra UNJ juga menilai langsung 400 puisi yang masuk untuk diseleksi menjadi dua puisi terbaik. Kategori puisi yang dipilih oleh Bengkel Sastra UNJ adalah puisi jatuh cinta terbaik dan puisi patah hati hati terbaik.
Berikut adalah puisi dari para pemenang puisi terfavorit dan puisi terbaik:


puisi jatuh cinta terfavorit

























puisi patah hati terfavorit


































puisi kaget jatuh cinta terfavorit



































puisi jatuh cinta terbaik


puisi patah hati hati terbaik


Selain pameran puisi, pada Selebrasi Cinta kali ini terdapat pula penampilan-penampilan anggota Bengkel Sastra, BEM jurusan-jurusan di Fakultas Bahasa dan Seni, dan komunitas di UNJ. Semua penampilan berkaitan dengan puisi cinta. Ada yang membacakan puisi dengan berbagai bahasa, menampilkan puisi tulisan sendiri, dan menampilkan musikalisasi puisi. Bahkan, ada yang maju ke atas panggung untuk mengungkapkan cintanya secara langsung. Tak hanya itu, terdapat pula diskusi penulisan puisi bersama Helvy Tiana Rosa dan Watipu, dan di penghujung acara terdapat penampilan dramatic reading dengan lakon Pengakuan karya Utuy Tatang Sontani yang disutradari Mussab Askarulloh.


Cinta butuh diselebrasikan, dan cinta akan semakin indah jika diselebrasikan dengan puisi. Sampai jumpa di Selebrasi Cinta tahun depan!





Rista Trihandayani

0
Share
Heart of Almond Jelly:
Bercinta, Butuh Rindu, dan Menghasilkan Rindu
Oleh: Bima Dewanto

C:\Users\Desi\Documents\Bima\25530.jpg



Kamis, 23 Februari 2017 kemarin, kami menyempatkan diri untuk datang ke salah satu kompetisi monolog dan drama pendek di bilangan Karet, Jakarta Pusat. Tepatnya di London School of Public Relation (LSPR). Kompetisi yang diberi nama Dramakala ini mampu memikat perhatian khalayak ramai. Pasalnya, kompetisi ini diikuti oleh pelakon seni pertunjukan mulai dari yang masih sekolah hingga yang sudah berada di tingkat Universitas.
Dramakala yang diadakan di LSPR ini berlangsung selama 3 hari, terhitung sejak tanggal 22 sampai 24 Februari 2017. Para penonton juga dimanjakan dengan fasilitas tiket terusan harian dimana penonton bisa menikmati pertunjukan yang dibuka sejak pukul 10.00 hingga pukul 22.00 WIB dengan harga Rp. 25.000, yang terbilang cukup terjangkau untuk menyaksikan pertunjukan teater seharian penuh.
Dramakala yang menampilkan peserta monolog dan drama pendek ini memiliki konsep tersendiri. Setiap tiga peserta monolog yang maju menampilkan pertunjukannya akan diselingi dengan satu pertunjukan drama pendek.
Pada kesempatan kali ini, kami menyaksikan salah satu pertunjukan drama pendek yang dibawakan oleh Teater Syahid dari UIN Jakarta. Dengan naskah Heart of Almond Jelly karya Wishing Chong dan disutradarai oleh Ari Sumitro, pertunjukan ini mampu memikat hati para penontonnya. Bagaimana tidak, kedua pemain dalam pementasan kali ini mampu membawakan karakter Sekar dan Sihar dengan apik walaupun pada naskah aslinya, kedua tokoh bernama Sayoko dan Tatshuro.
Lakon Heart of Almond Jelly sebelumnya sudah pernah dibawakan oleh Teater Syahid pada Art Inspiring 2016 silam dengan aktris yang sama yaitu Sarah Nurmala. Menurutnya, Dramakala merupakan ajang untuk membawakan naskah ini jauh lebih baik dibandingkan saat sebelumnya.
Heart of Almond Jelly menceritakan sepasang suami istri yang hendak berpisah. Latar di atas panggung menunjukan mereka yang sedang mengemasi barang-barang bawaan masing-masing. Pada pertunjukan kemarin, penonton dibuat kagum dengan opening yang apik dari Sekar (Sarah Nurmala) yang sedang beradegan melakukan phiates di atas yoga mattress nya. Sekar mampu mengangkat kedua kaki serta tubuhnya yang hanya ditopang oleh kepala dan tangannya saja. Dari adegan ini, Sekar berhasil menunjukan hasil yang ia jalani selama latihan keras menuju pementasan Dramakala.
Pada adegan berikutnya, muncul Sihar (Khairul Fiqi Firmansyah) yang mengoceh akibat barang-barang yang diletakkan tidak pada tempatnya. Kekesalan bertambah karena melihat Sekar yang masih asyik meliukkan tubuhnya dan tidak mendengarkan ia berbicara. Ocehannya semakin menjadi, hingga Sekar menghentikan aktivitasnya itu dan mencoba meladeni kekesalan Sihar.
Belum lagi keributan yang ditimbulkan akibat Sihar yang mengungkit-ungkit hubungan keluarganya. Pertikaian ini semakin memancing emosi Sekar. Membuatnya harus mengungkit juga beban yang selama ini ia rasakan. Beban yang Sekar tanggung akibat kecengengan sang suami yang tidak mau bekerja. Sihar takut akan dunia luar. Trauma, katanya.
Sekar juga mengatakan bahwa ia haus bercinta dengan suaminya itu. Ia rindu akan bersenggama dengan Sihar. Membayangkan pertama kali mereka berdua melakukannya.
Dari adegan ini, Sekar memberitahu pada penonton bahwa bercinta bukan hanya untuk memuaskan kenikmatan. Sekar menyampaikan bahwa hangatnya berpelukan, berciuman, merupakan bumbu penyedap dari setiap pasangan yang tinggal satu rumah. Ia mencoba menyalahkan Sihar yang sudah tidak mau lagi menyentuhnya sampai ia bisa menuduh suaminya itu berselingkuh.
Emosi Sihar yang tertahan karena perbuatan sang istri akhirnya keluar. Ia mencoba menuruti apa kata Sekar. Bercinta. Sihar mencoba memeluk Sekar, mendorongnya ke depan kardus-kardus yang telah mereka susun. Tapi Sekar menolak, ia berteriak minta ampun. Sekar lari menjauhi Sihar hingga ia terjatuh karena Sihar mendorongnya. Posisi tubuh Sihar kini sudah di atas tubuh Sekar. Tapi tangisan istrinya itu semakin menjadi. Teriakan ‘jangan’ semakin mengeras. Teriakan ampun tiada henti.
Sekarang gantian Sihar yang menuntut Sekar setelah ia mencemooh Sihar habis-habisan yang katanya tidak mau bercinta dengannya. Padahal nyatanya, Sekar yang selalu menghindar ketika Sihar hendak mendekatinya.
Konflik tidak berhenti sampai di sini. Ternyata terbongkar alasan mereka berdua sudah tidak pernah lagi bercinta. Trauma. Sekar yang dua tahun lalu pernah mengalami keguguran, membuat keberaniannya untuk bersetubuh hilang. Ia mengungkit masalah ini dan menyalahkan Sihar untuk menutupi ketakutannya akan bercinta itu.
Berkali-kali Sihar mengatakan untuk mencobanya kembali. Tapi Sekar tetap menolak karena ketakutannya yang sangat kuat. Kemampuan Sarah dalam memerankan Sekar disini terlihat kembali. Tangisnya mulai dari yang hanya terisak hingga menjerit terlihat sangat nyata dan mendalam di sini. Belum lagi saat ia membahas masalah di mana ia pernah mengalami keguguran. Sekar menjerit ketakutan mengingat masalah itu, membuat penonton ikut pilu merasakannya.
Setelah Sihar berbicara panjang lebar sehingga membuat Sekar tersadar bahwa ia tidak akan menjadi apa-apa setelah kehilangan Sihar, Sekar berdiri mencoba menghilangkan kesedihannya dan memohon kepada Sihar untuk tidak berpisah.
Adegan terakhir, yang membuat penonton sekali lagi terbawa emosi adalah ketika perlahan Sekar mendekat dan Sihar merangkulnya. Masih diiringi dengan isak tangis Sekar dan rangkulan Sihar yang perlahan, efek lampu yang semakin redup dan menghilangkan cahaya yang menyinari properti perlahan hanya terfokus kepada kedua aktor tersebut. Hingga kini di panggung, yang terlihat hanya Sekar dan Sihar yang saling berpelukan mesra di bawah cahaya lampu.
Lima bintang untuk Teater Syahid. Pertunjukan yang apik dan emosional. Pemilihan naskah yang tepat sehingga mampu diterima oleh semua orang yang menyaksikannya. 25 Maret 2017, pengumuman pemenang dari Festival Dramakala ini diumumkan. Seluruh peserta menunggu hasil dari setiap kerja keras yang mereka lakukan. Termasuk Teater Syahid yang terbayar lunas semua proses untuk kompetisi ini. Grup Terbaik 1 mereka dapatkan ditambah Aktris Terbaik atas nama Sarah Nurmala, dan nominasi Sutradara Terbaik juga berhasil mereka raih. Disusul oleh Teater Dapur Pontianak dan Teater Kriminalaje di urutan setelahnya.

“Terimakasih banyak Sekar dan Sihar. Banyak pelajaran yang kami dapat dari kisah hidup kalian, terutama cinta.”

Salam Cinta
Bengkel Sastra


0
Share
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Selamat Datang!

www.BengkelSastra.com

Selamat datang di situs Bengkel Sastra. Di sini Anda akan menemukan informasi seputar sastra dan budaya. Anda juga dapat melihat hasil karya dari anggota Bengkel Sastra seperti puisi, cerpen, dan lainnya.

Follow Us

  • google+
  • youtube
  • twitter
  • instagram

Berlangganan via Email

Arsip Blog

  • ►  2018 (5)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2017 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ▼  Maret (5)
      • CERPEN: Dantjé
      • Cerpen: Jangan Suka Lempar Batu
      • SELEBRASI CINTA: “TIADA KATA TERLAMBAT UNTUK UNGKA...
      • Heart of Almond Jelly: Bercinta, Butuh Rindu, dan...
      • Puisi: Penulis Apatis
    • ►  Februari (8)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2016 (2)
    • ►  November (2)

Facebook Page

Google+ Followers

Pengikut

Statistik

Bengkel Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Mentang-mentang dari New York
  • Ulasan Lakon ‘Opera Kecoa’ oleh Teater Koma (2016)
    Kamis, 10 November 2016 adalah hari pertama dari pementasan Teater Koma yang ke-146 dengan lakon Opera Kecoa yang diselenggarakan di Graha ...
  • Selebrasi Cinta
    Bengkel Sastra UNJ Menuju Satu Dekade mempersembahkan Mari rayakan Hari Puisi Internasional bersama Bengkel Sastra dalam Selebras...

Twitter

Tweets by @bengsas

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Copyright © 2015 Bengkel Sastra

Created By ThemeXpose