Pages

  • Portfolio
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
youtube google+ twitter instagram
Bengkel Sastra

  • Home
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Kontak
    • Kepengurusan
  • Berita
    • Sastra
    • Budaya
  • Kategori
    • Puisi
    • Ulasan
      • Puisi
      • Cerpen
      • Naskah Drama
      • Novel
      • Film
      • Pertunjukkan Teater
    • Cerpen
    • Naskah Drama
    • Pementasan Teater
  • Info Acara
  • Karya
Ketika Hujan Reda
Oleh Tiyas Puspita Sari

[Terinspirasi dari one-shot berjudul A Love Story in Moist Rainy Days
karya Yamamori Mika]

Ilustrasi oleh: Andriani


  Aku akan melakukan hal yang sama dengan hujan. Sama-sama terjatuh untuk menciptakan genangan penuh kenangan. Setidaknya, itu yang aku inginkan. Tapi jika yang aku lakukan hanya duduk sambil menatapnya dari balik kaca jendela ini, kenangan macam apa yang kira-kira akan aku ciptakan?
      Aku mendengus agak keras seraya menjatuhkan kepalaku di atas meja. Mengalihkan pandanganku yang tadinya tertuju pada objek di bawah sana pada sesuatu yang berada jauh di atasnya, langit. Agaknya langit memiliki kenangan buruk pada akhir tahun, dia banyak menangis pada bulan ini. Tapi jika tidak begitu, aku mungkin tidak akan berakhir di salah satu kursi pinggir jendela yang berada di lantai tiga perpustakaan kota ini.
            “Lagi? Sampe bosen kakak liat muka kamu, tau?”
          Dan tentunya, aku juga tidak akan mendapat omelan dari perempuan berambut sebahu yang kini duduk di hadapanku itu. Adinda namanya, dia kakak perempuanku dan dia adalah orang yang paling tergila-gila pada buku yang aku tahu. Dia yang seorang dokter itu sampai rela membagi waktunya untuk bekerja menjadi seorang penjaga perpustakaan setiap akhir pekan. Dan entah ini sudah menjadi akhir pekan yang ke berapa dia mendapati aku duduk di sini, hanya ditemani dengan satu cup kopi berukuran sedang, tanpa buku apa-apa, dan dengan pandangan lurus pada satu objek di bawah sana.
          “Lagian sejak kapan sih kamu jadi maniak perpustakaan?” tanyanya lagi, kali ini dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
          Aku mengoper retinaku dari wajahnya ke arah objek kesukaanku. “Sejak,” kalimatku terpotong ketika salah satu bibirku terangkat otomatis, “Nanta sadar kalau di tempat ini ada peri kebun?” aku kembali menatap kakakku, kali ini dengan pandangan geli yang dibuat-buat.
       “Ananta!” dia mendesah kesal. Bagaimana tidak, ini sudah kali entah ke berapa kakakku bertanya hal yang sama dan ini juga kali yang sama aku tidak pernah dengan serius menjawabnya.
          “Kepo banget sih, lagian.” Kataku seraya berdiri. Ini sudah saatnya bagiku untuk turun, karena sepertinya hujan juga akan segera turun. Ah, seandainya aku bisa menyapa peri kebun itu seperti hujan yang tanpa ragu bisa menyapa tanah setiap kali ia datang.
            Sial. Sepertinya aku terlalu melankolis sebagai seorang laki-laki.
       Aku meraih payung lipatku dan hendak berjalan pergi ketika suara Adinda menghentikan langkahku. “Ini juga, kenapa bawa payung terus, sih? Kamu kan bawa mobil?”
           Aku terkekeh pelan sebelum mengangkat bahuku pelan. “Ibu yang minta. Katanya harus selalu sedia payung sebelum hujan.” Jawabku yang langsung diikuti dengan derap langkah menjauh.
           “Sejak kapan kamu—“
         Kakakku itu tidak melanjutkan ucapannya karena kali ini aku tidak lagi menoleh dan hanya terus berjalan sambil mengangkat tangan dan melambai padanya tanpa berbalik.
            Sebenarnya, aku punya alasan kenapa aku selalu membawa payung setiap datang ke sini. Dan, tentu saja, alasanku itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan ibuku.
            Ngomong-ngomong, objek kesukaanku itu bukan peri kebun. Tapi, dia memang seperti peri—peri yang aku bicarakan adalah paradigma semua orang tentang bagaimana sosok fisik peri terlihat. Indah. Kulitnya seputih kue salju buatan Ibuku setiap hari raya. Dan melihat senyumnya membuatku merasa seperti memakan kue itu. Manis sekali. Rambutnya hitam legam, panjang, dan selalu ia biarkan terurai. Kontras dengan warna bibirnya yang merah merona. Cukup tinggi untuk seorang perempuan dan tubuhnya kurus, terlihat rapuh ketika dikeroyok oleh tetesan air hujan. Seperti saat ini.
          Mereka bilang namanya Diana—aku cukup lega mendengarnya, kalau saja namanya Mariposa, aku mungkin akan benar-benar percaya kalau dia seorang peri—dan dia selalu berada di taman belakang perpustakaan kota tempat kakakku bekerja ini. Setiap hari. Aku tidak tahu jam berapa dia datang, dia selalu sudah berada di sana setiap kali aku sampai. Dan dia tidak akan pulang sebelum sang surya tenggelam.
            Aku sudah tertarik pada Diana sejak kali pertama aku melihatnya. Saat itu hujan cukup deras, dan kakakku memintaku untuk menjemputnya. Kalau saja aku tahu akan melihat Diana saat itu, pasti aku tidak akan malas. Tapi aku tetap datang, dan saat itu lah aku melihatnya. Tidak seperti semua orang yang berlindung agar tidak saling sapa langsung dengan hujan, dia malah berdiri di bawah buliran bening yang menyerangnya itu. Seolah menantang. Dan dia menangis. Dengan bibir terbuka lebar seolah tertawa, aku melihat ada bulir bening lain yang jatuh di wajahnya, bermuara di sudut matanya. Tetapi tersamarkan oleh tangisan lain yang dijatuhkan awan. Mungkin dia pikir tidak akan ada yang menyadarinya. Tapi, dia salah. Aku melihatnya. Sejak saat itu sampai sekarang.
     Aku berdiri di bawah pohon yang cukup besar untuk melindungiku dari hujan deras. Memfokuskan pandanganku pada Diana yang tengah melakukan ritualnya, menangis di bawah hujan dengan ekspresi bahagia.
          Aku telah membulatkan tekad untuk menyapanya hari ini. Setidaknya, dia harus tahu kalau aku ada di dunia ini. Selama dua menit empat puluh lima detik pertama, aku bergeming di tempat. Entah karena merasa risih diperhatikan atau penasaran, Diana berbalik dan membalas tatapanku untuk beberapa detik. Membuatku terpaku dan kikuk setengah mati.
      Jauh di luar dugaanku, perempuan yang tadi berdiri beberapa meter di depanku itu mempersempit jarak di antara kami. Dia melangkah maju dan berdiri tepat beberapa langkah di hadapanku. Membuatku gugup bukan kepalang.
        “Ah,” Katanya seolah menyadari sesuatu, membuat alisku mengkerut. “Ternyata lelaki dari lantai tiga.”
            Iya, ini aku.
            Tunggu.
            Apa?
            Dia tahu?
            Dia tahu aku memperhatikannya selama ini?
            “Aku Diana.” Katanya mengulurkan tangan kanan yang sudah pucat dan keriput pada ujung-ujung jemarinya.
           Meskipun tahu kalau tangannya akan sedingin es batu, aku tetap menyambut uluran tangannya seraya meremasnya pelan. “Ananta.” Jawabku singkat. Agak serak. Apa-apaan? Kenapa malah aku yang gugup? Ayolah, bertingkahlah sebagaimana mestinya. Seperti seorang lelaki sejati.
       Dia manggut-manggut setelah tangan kami terlepas.
      “Sini,” Kataku sambil menatapnya, yang dibalas dengan alis hitamnya yang terangkat. “Berteduh. Kamu bisa sakit kalau terus hujan-hujanan gitu.”
            Dia tertawa pelan. Aku tidak bisa mengartikan itu jenis tawa apa. Lagipula aku tidak peduli.
          “Kapan kamu berhenti, Diana? Kapan kamu akan berhenti dari situ?” aku kembali membuka mulutku karena tidak mendapat jawaban.
           Perempuan itu menatapku lurus-lurus dan tersenyum penuh arti. “Nanti. Ketika hujannya telah reda.”
            “Kenapa?” lagi, aku bertanya.
            “Kenapa, kenapa?” dia balik bertanya.
            “Kenapa menangis?”
        Dia kembali tersenyum. Terlihat seperti sebuah senyuman yang lirih. Perempuan itu mengalihkan pandangannya dariku dan menatap langit. “Biasanya orang menangis karena bahagia atau sedih,” Dia terkekeh. “Menurutmu, aku yang mana?”
            Aku menghembuskan nafas cukup keras. Dia tidak serius menjawab pertanyaanku.
          Menyadari ada kekesalan terpancar dari raut wajahku, Diana malah kembali tersenyum. Aku baru tahu ternyata dia orang yang banyak tersenyum.
       “Kalau aku memberitahumu kenapa, apakah kau akan berhenti melihatku dari atas sana?” katanya sambil menunjuk ke atas, tepat ke tempat di mana aku biasa duduk dan memperhatikannya.
          Tidak, batinku.
            “Mungkin.” Tapi justru itulah jawabanku.
          Setelah menatapku selama beberapa detik dalam hening, Diana mulai berbicara. “Karena hanya dengan berdiri di bawah hujan, aku merasa kembali bersamanya.”
            Keningku berkerut, “Siapa?”
            Terdengar helaan nafas Diana sebelum dia menjawab pertanyaanku. “Kekasihku.”
            “...”
            “Dia pergi ketika hujan dan dia tidak pernah kembali.”
            “...”
        “Sekarang, kau boleh pergi. Dan tidak perlu datang untuk melihatku lagi.” Katanya seraya berbalik dan kembali ke tempat asalnya—sebelum dia menghampiriku dan mengajakku bicara.
         Aku sendiri masih beku di tempat. Ini semua benar-benar di luar ekspektasiku. Dan tanpa alasan pasti, dadaku sesak. Seolah ada beban besar menghimpit paru-paruku, aku merasa kesulitan bernafas.
         Diana menoleh, menatapku dengan tatapan yang lagi-lagi sulit untuk aku artikan. Yang pasti, dia tahu kalau aku tidak berniat pergi dari sini seperti apa yang dia minta. Perempuan itu kembali menatap ke depan, memunggungiku. Dan kembali menangis, kurasa?
          Setelah menarik nafas cukup panjang dan menghembuskannya perlahan, aku membuka payung lipat hitamku.
        Lalu, hujan yang sedari tadi berlomba-lomba untuk menghantam tubuh rapuh peri kebun-ku tidak bisa lagi melakukannya. Karena saat ini, tepat dua langkah di belakangnya, aku berdiri sambil menggenggam erat payung yang selama ini selalu aku bawa karena alasan yang sama. Untuk melindungi perempuan itu. Menaunginya agar dia tidak harus berhadapan dengan hujan lagi.
       Meskipun membelakangiku, aku tahu Diana menyadarinya. Karena untuk sepersekian detik, untuk waktu yang sama dengan kedipan mata, tubuhnya berubah kaku. Tetapi perempuan itu tetap bergeming tanpa mengatakan apa-apa.
       Setelah menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal, aku berdeham pelan. “Aku rasa kekasihmu tidak akan senang kalau kamu sakit.”
           Sore itu, aku berdiri di tengah hujan. Menemani Diana dan kekasihnya sampai hujan berhenti.


***



0
Share
Judul Film       : Istirahatlah Kata-Kata
Genre              : Drama, Biografi
Produser          : Yosep Anggi Noen, Yulia Evina Bhara, Tunggal Pawestri, dan Okky Madasari
Sutradara         : Yosep Anggi Noen
Penulis            : Yosep Anggi Noen
Produksi          : Muara Foundation, Kawan Kawan Film, Partisipasi Indonesia, dan Limaenam Films
Pemain            : Marissa Anita, Melanie Subono, Eduwart Boang, Dhafi Yunan, Joned Suryatmoko, dan Gunawan Maryanto







Film Istirahatlah Kata-Kata yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen dirilis pada tanggal 19 Januari 2017. Film ini menceritakan tentang pelarian Wiji Thukul karena status barunya sebagai buronan. Fokus film ini memang kepada Wiji Thukul sebagai buronan. Sesekali, perihal kondisi politik dibahas di dalam film ini, tetapi sekedar lewat pembicaraan singkat atau siaran radio. Pemaparan situasi politik dan negara berfungsi memperkuat latar saja, bukan berfungsi sebagai fokus utama.

Kehidupan Wiji Thukul yang sepi dan sunyi sebagai buronan penguasa orde baru dimulai dengan pelariannya ke Pontianak. Hal ini digambarkan dengan jitu dalam film ini. Pengalamannya beberapa bulan berada di Pontianak dan berada jauh dari keluarga dan tanah asalnya digambarkan dengan membosankan. Dalam kebosanannya, ia berusaha berkarya dengan menulis puisi dan cerpen dengan menggunakan nama pena lain. Kebosanannya bercampur dengan kesedihan karena harus terpisah dengan sang istri dan kedua anaknya. Film ini mengingatkan kita bahwa hal yang paling kejam dari kekuasaan despotik adalah menciptakan kesunyian dan keterasingan.


Film ini tidak dibungkus sebagai kisah inspiratif, melainkan ditampilkan dengan cara mengisahkan kesunyian seakan merefleksikan pertanyaan yang hadir di kehidupan nyata tentang hal yang dialami Wiji Thukul hingga membuatnya kini menghilang tak berbekas.


Di Solo, Sipon (istri Wiji Thukul) hidup bersama kedua anaknya. Sipon ditekan, rumah diawasi polisi, koleksi buku-buku disita, dan beberapa kali Sipon digelandang ke kantor polisi untuk diinterogasi. Anak Wiji pun ikut diinterogasi dengan pertanyaan kapan bapaknya pulang dan dimana keberadaan bapaknya.


Dalam kebosanannya di Pontianak, Wiji berusaha menghibur dirinya dengan berjalan-jalan menaiki perahu. Pada saat itu, ia memuji para pengejarnya karena secara tidak langsung mereka telah mengajarkan anak-anaknya mengenai sesuatu yang berharga. Ia pun merasakan kerinduan kepada keluarganya. Ia ingin kembali ke tanah asalnya untuk bertemu istri dan kedua anaknya.


Wiji pun kembali ke Solo dan bertemu dengan istri dan kedua anaknya. Sipon bingung harus merasa sedih atau senang atas kepulangan Wiji. Ia ingin Wiji pulang ke rumah, tapi disisi lain ia tak ingin Wiji pulang ke rumah karena takut jika Wiji tertangkap. Hari-hari yang dialami Wiji di Pontianak menjadikannya semakin kuat yang membuatnya membulatkan tekad untuk menghancurkan penguasa.


Pada bulan Maret 1998, serangkaian operasi penculikan dilakukan oleh Tim Mawar Kopasus. Puluhan aktivis diculik, ditahan, dan disiksa di berbagai penjara yang tersembunyi. Sebagian dari mereka dibebaskan setelah disiksa habis-habisan oleh Tim Mawar, tetapi sebagian lagi tetap menghilang tak berbekas. Dalam operasi penghilangan tersebut, Wiji Thukul turut menghilang tak berbekas hingga sekarang.

Film ini memberitahukan bahwa pernah ada masa jika seseorang bersuara keras, maka akan ditindak tegas. Dalam hal ini, kata-kata dapat menjadi mimpi buruk bagi penguasa despotik.


-Alma Agustin
0
Share
Proses tak akan mengkhianati hasil, katanya. Dan “TIK,” pasti akan terus melekat dalam benak, karena penggarapannya yang hanya memakan waktu dua bulan. Tak ada keterpaksaan dan kami semua senang menjalaninya. Bahkan proses ini kerap dijadikan eskapisme dari penat kesibukan kuliah. Jika kami sudah memakai celana latihan dan menjejaki paving block Teater Terbuka, seketika segala beban mengasap, lebur dari ubun-ubun kami. Terlebih, anggota keluarga baru telah hadir, mengisi sepi yang bertahun mengendap.


Pemilihan naskah memakan waktu yang cukup panjang, hingga akhirnya sutradara memutuskan untuk memakai naskah “TIK,” oleh Budi Yasin Misbach, sebuah naskah komedi satir. Tentu itu hal yang sudah tak asing lagi, karena mementaskan komedi satir adalah salah satu favorit kami. Naskah kemudian disadur oleh sutradara dan astrada, untuk menyesuaikan cerita dan jumlah aktor. Proses reading terbilang sebentar, karena casting harus segera dilakukan. Dari casting tersebut, terpilihlah 12 aktor, yaitu Diah Ayu Wardani (Petugas 1), Trisda Yuliana (Petugas 2), Bima Dewanto (Petugas 3), Adi Kurniawan (Wardana), Fatimah (Minah), Rio Tantowi (Jhon), Malika Tazkia (Seseorang 1), Annisa Anastasya (Seseorang 2), Andriani dan Siti Imtitsalul (Koor), Ichsan Abimaya (Haji Komar), dan Bagus Dwiyoga (Komandan).

Sebagai aktor, saya dapat melihat latihan dari perspektif panggung. Saya dapat merasakan secara langsung perkembangan aktor-aktor dari interaksi yang saya lakukan bersama mereka. Untuk waktu dua bulan, perkembangan beberapa aktor sangat terlihat, walaupun ketidakseriusan yang tidak semestinya ada kerap kali dilakukan di panggung, maupun di wing. Pun, perkembangan itu terasa sedikit demi sedikit, fluktuatif, terkadang stagnan, dan kualitas blocking masih kerap dipengaruhi mood kami pada saat itu. Hal yang paling menjadi kendala adalah: sutradara sangat sulit menggarap aktor secara lengkap karena setiap hari pasti ada aktor yang berhalangan, entah karena kendala kesehatan atau kendala yang lain. Ini membuat suasana panggung tidak kunjung cukup terbangun.


Sutradara kemudian menambah adegan awal untuk melengkapi konsep panggungnya, dan terpilihlah lima aktor tambahan, yaitu Syifa Fauziah (Pelapor), Milah Nuraini (Pelapor), Intan Uswatun Hasanah (Pelapor), Fauziannisa (Petugas 4), dan Amelinda Ruby (Pembawa Minuman). Blocking dengan aktor yang lengkap menjadi semakin sulit. Belum lagi muncul kendala yang dirasakan stage manager, yaitu kesulitan menata panggung akibat sulitnya mengambil properti.

Evaluasi demi evaluasi kami lakukan setiap hari, walaupun banyak hal-hal yang tidak semestinya kerap kali terulang di atas panggung.  Seperti adegan satu yang monoton, penguasaan emosi yang tidak konsisten, vokal dan artikulasi yang kurang, respon yang lambat dalam pergantian dialog, dan sebagainya. Hingga konsep tim musik dan tim pencahayaan telah rampung dan pekerjaan tim artistik sudah nyaris rapi, kesalahan di atas panggung masih saja terjadi. Tapi saya benar-benar optimis melihat perkembangan para aktor yang saya lihat. Saya berpikir bahwa pementasan ini akan keren, betapapun banyaknya kendala yang ada.


Karena pementasan ini dilaksanakan pada saat UAS sudah benar-benar selesai, kami sangat leluasa menata panggung sejak pagi. Biasanya setiap menata panggung, kami akan pulang larut malam. Namun, kali ini, H-1 pementasan, kami dapat pulang lebih awal untuk beristirahat. Pun kami leluasa melanjutkan penataan panggung pada hari H sejak pagi hari, sehingga pekerjaan dapat rapi tepat pada waktunya.

Inilah salah satu alasan kami mencintai hari pementasan: keajaiban bertubi datang di atas panggung. Gladikotor dan gladibersih yang kami lakukan tidak bisa dibilang bagus, bahkan kesalahan fatal masih terjadi, membuat kerisauan semakin menggumpal. Namun, begitu pementasan dimulai, rasa tenang yang terasa tidak wajar saya rasakan saat berdiri di wing. Debar yang ada justru memicu semangat kami. Saya mengerti betul apa yang dirasakan oleh angkatan baru: pentas perdana. Wing tidak bisa benar-benar sunyi karena antusiasme mereka mengintip penonton dari balik backdrop. Kemudian, entah mengapa kesalahan-kesalahan yang kerap kami lakukan pada saat latihan tidak terjadi di atas panggung. Adegan awal berjalan dengan sangat mulus dan aktor-aktornya terlihat sangat menikmati permainan mereka. Kekurangan-kekurangan dalam pementasan terbilang tidak fatal, dan penonton terlihat menikmati. Untuk sebuah pementasan perdana angkatan baru, pementasan ini sangat layak ditampilkan.


Kami akan merindukan “TIK,”. Kami akan merindukan Wardana dan para pemulung yang berjuang menagih hak rakyat kecil. Kami akan merindukan barisan SANS (Satuan Keamanan Sekitar). Kami akan merindukan lagu-lagu yang mengiringi kami. Rupanya, setelah “mencari apa yang hilang” di panggung, kini kami telah menemukannya: apa yang ada di atas dan belakang panggung telah utuh, dan Bengkel Sastra akan kembali menyampaikan banyak pesan melalui pementasan-pementasan yang akan datang.


Kami akan merindukan proses ini.

[Tonton aktivitas kami di balik panggung "TIK," di sini]


-Malika Tazkia
1
Share
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Selamat Datang!

www.BengkelSastra.com

Selamat datang di situs Bengkel Sastra. Di sini Anda akan menemukan informasi seputar sastra dan budaya. Anda juga dapat melihat hasil karya dari anggota Bengkel Sastra seperti puisi, cerpen, dan lainnya.

Follow Us

  • google+
  • youtube
  • twitter
  • instagram

Berlangganan via Email

Arsip Blog

  • ►  2018 (5)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2017 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (8)
    • ▼  Januari (3)
      • Cerpen: Ketika Hujan Reda
      • Film: Istirahatlah Kata-Kata, Wiji Thukul dalam Si...
      • Mencari (Menemukan) Yang Hilang - Sebuah Catatan A...
  • ►  2016 (2)
    • ►  November (2)

Facebook Page

Google+ Followers

Pengikut

Statistik

Bengkel Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Mentang-mentang dari New York
  • Ulasan Lakon ‘Opera Kecoa’ oleh Teater Koma (2016)
    Kamis, 10 November 2016 adalah hari pertama dari pementasan Teater Koma yang ke-146 dengan lakon Opera Kecoa yang diselenggarakan di Graha ...
  • Selebrasi Cinta
    Bengkel Sastra UNJ Menuju Satu Dekade mempersembahkan Mari rayakan Hari Puisi Internasional bersama Bengkel Sastra dalam Selebras...

Twitter

Tweets by @bengsas

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Copyright © 2015 Bengkel Sastra

Created By ThemeXpose