Kau adalah jelmaan tentang apa yang orang
pikirkan tentang pesanan mereka yang baru saja datang. Kau semua yang mereka
keluhkan ketika makanan mereka terlalu manis. Nama dan matamu ialah kepingan
kecil lagu yang sedang diputar oleh pemutar musik di sudut bangku. Kelak kau
temui suaramu sendiri di kulkas yang baru saja ditutup. Aku menemukanmu—di
antara tempelan-tempelan tembok yang tak mau menyatu—sedang memanggil-manggil
nama masa kecilku.
Aku lelah memakai kata kau.
Jejak langkahmu menggema di sebaran lampu-lampu
kuning yang menggantung. Mereka sepakat untuk tidak menyentuh bahu sebelah
kiriku. Setelah kucermati baik-baik, iktikad mereka lucu juga; mereka tak mau
membuatku mengingatmu. Mereka lebih senang hadir dan bertengger di atas kepala
orang-orang yang sedang tertawa, entah tentang apa, entah yang palsu yang mana.
Jamuanku untukmu mengendap sela-sela meja dan
kursi. Aku beritahu mereka jika kau datang nanti, upayakan tetap tenang. Mereka
terlalu sibuk panik dan bergetar tiap kali kutitipkan salam.
-Sudah sampai?
-Kabarmu baik?
Aku buka dunia dan menemukan diriku sendiri di
keramaian pekat ini, sepertinya orang kota memang butuh pelarian. Orang kota
sukar menemukan keheningan. Mereka lahir dari janji-janji petinggi yang tak tahu
sedang apa dan di mana. Tangis mereka adalah lampu-lampu penyebab macet
berbelas-belas kilometer. Sedikit menyebalkan namun dibutuhkan.
Omong-omong aku orang kota.
Kota yang mengerti betul bahwasanya sedih adalah
kebahagiaan yang terlambat datangnya. Ia suka kesedihan dan menunjukkan
perhatiannya dari hujan dan ketidaknyamanan. Ada gelas jatuh dan pecah.
Kepecahan merindukanmu, barangkali. Kau masih ingat pelayan yang sempat kuajak
bicara waktu itu? Ia makin giat ketika kuberitahu lampu kota suka pelayan
ramah.
Kiranya, lebih baik aku membicarakanmu.
Kau menu yang kupesan beberapa saat lalu dan tak
jua sampai tujuan. Kau rindu yang kuubah jadi berlembar-lembar kata. Kata
memenjara, kata mengeluarkanmu dari celah-celah jendela.
Aku menyimpan segelas cahaya, menjaganya hangat
dan dingin dalam waktu bersamaan untuk kita. Kata berita, malam merenggut
cahaya dan alam bawah sadar benda-benda. Aku ingin kita tetap ada, merasakan
apa yang suka disebut tukang es cendol seberang gedung dengan sebutan: keajaiban
yang tak pernah binasa.
Aku merindukanmu, kau tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar