Wanita tua itu datang dengan wajah sendu. Duduk,
membuka laptopnya dengan tangan gemetar. Suara ketikannya terdengar sangat
lantang, mungkin karena emosi yang meluap. Matanya mulai basah dan pipinya yang sebelumnya
nampak kering menjadi lembab. Aku tidak tahu dia kenapa dan tidak ingin tahu.
Bagiku itu urusannya sendiri, urusan pribadi dan aku tidak berhak ikut campur.
Di
kedai kopi seperti ini, para pelanggan
mempunyai ruang imajiner sendiri-sendiri. Meski mereka bilang bahwa tempat ini
merupakan tempat publik, tapi sesungguhnya tidak ada tempat publik. Tempat ini
hanya seperti rumah kedua bagi mereka dengan para pelayan bayaran yang bisa
membuat kopi. Sedangkan, para pelanggan lain hanyalah tayangan
televisi yang tidak ingin dilihat atau patung-patung yang kebetulan bisa
bergerak.
Perempuan
itu masih terlihat menangis. Kali ini nampak lebih kuat. Tubuhnya terguncang
dan sesekali terdengar isak. Para pelanggan maupun pelayan terlihat biasa saja,
merasa tak perlu masuk ke ruang imajiner wanita tua itu dan mengusik
kesedihannya. Begitu juga aku tadinya. Tapi aku melihat ada
sesuatu yang pernah aku lihat sebelumnya. Mata itu. Mata keputusasaan yang
pernah membuatku menyesal karena mengabaikannya. Mata itu terus menerus
membayangiku hingga akhirnya aku pun merasa iba padanya dan ingin rasanya aku menenangkannya serta menanyakan apa yang terjadi. Namun tidak aku lakukan semua itu
pada hari itu.
Hari
selanjutnya sepulang dari pekerjaan yang melelahkan dan membosankan, tetapi
tetap harus kulakukan agar keluargaku tetap memelihara senyum untukku. Aku
kembali ke kedai kopi itu. Pandanganku langsung tertuju ke meja tempat wanita
tua yang kemarin kulihat menangis itu duduk. Wanita itu tidak berada disana,
hanya ada laptop dengan gambar buah digigit dan tas merah usang kepunyaannya.
Kurasa ia sedang di toilet untuk sekadar membuang cairan dari kandung kemihnya
agar dapat menampung segelas kopi yang ada di mejanya yang nantinya akan dia
buang lewat saluran yang sama keesokan paginya. Betul saja, tak lama setelah
aku memesan kopi dan hendak duduk, ia keluar dengan mata sembab dan hal ini
mematahkan prediksiku. Ia ke toilet bukan hanya untuk membuang cairan dari
kandung kemihnya, melainkan juga dari kantung matanya. Dan yang selanjutnya ia
lakukan pun mematahkan prediksiku selanjutnya. Setelah ia keluar dari toilet,
aku beranggapan bahwa ia tidak akan menangis lagi karena ia sudah melakukan itu
di toilet. Tapi nyatanya , ia melanjutkan tangisnya di mejanya dan kali ini nampak lebih sedih dari hari kemarin, yang sama
hanyalah respon orang-orang terhadapnya yaitu tidak ada respon.
Hari
itu aku sengaja pulang lebih larut karena hendak menyelesaikan pekerjaan
kantorku yang belum kuselesaikan. Jika kau pikir ada alasan lain yang membuatku
pulang lebih larut, dengan penuh berat hati kuakui itu benar. Rasa penasaranku
tentang sampai kapan wanita tua itu menangis menjadi faktor utama kedua selain
pekerjaan kantorku yang belum selesai.
Wanita
tua itu pulang lebih dulu dariku dan sebuah kebetulan pekerjaanku nyatanya telah selesai
sehingga aku bergegas pulang tak lama setelah ia melepaskan genggamannya dari
gagang pintu kedai. Disela langkahku menuju ambang pintu, seorang pria yang
nampaknya berumur lebih muda 2 tahun dari wanita itu berkata “ Wanita itu
memang senang sekali mengumbar kesedihan. Sudah 2 minggu dia berkunjung ke
kedai ini dan semua kunjungannya diiringi dengan tangisan seolah aktris yang
kemunculannya diiringi sebuah musik.”
“Oh ya? Kenapa ia begitu?” Tanyaku.
“ Entah.” Jawabnya.
“ Tidak adakah yang bertanya? Kau barangkali?”
“ Hidup terlalu singkat untuk mengurusi kehidupan
orang lain nak.”
“ Tapi ia nampak frustasi sekali dan dirundung
kesedihan yang mendalam, ia mungkin butuh rasa simpati.”
“ Nak, semua yang ada di kedai ini frustasi, dirundung
kesedihan yang mendalam dan butuh rasa simpati. Bukankah kau juga begitu?
Datang kesini dengan membawa
setumpuk pekerjaan yang sebenarnya tak
kau inginkan dan pikiran mengenai hal-hal yang mencuri kebahagiaan dan waktu
luangmu.”
Aku
terdiam beberapa detik, lalu meneruskan langkah tanpa membalas kalimat pria
yang kusimpulkan mampu membaca pikiran itu. Dihari itu, aku memutuskan untuk
peduli dan masuk ke ruang imajiner wanita tua yang belum kuketahui namanya jika
esok kutemui ia menangis lagi di kedai kopi itu.
******
Sesuai
rencanaku kemarin, aku akan masuk ke ruang imajiner wanita tua yang gemar
menangis itu dan mulai peduli padanya jika kutemui ia menangis lagi di kedai
kopi hari ini. Seperti biasa, sepulang aku dari kantor, aku sempatkan mampir ke
kedai kopi yang biasa aku kunjungi. Kali ini bukan hanya untuk melepas penat atau menyelesaikan
pekerjaan yang tersisa,
melainkan juga untuk memastikan apakah wanita tua itu menangis lagi atau tidak.
Ketika
kulangkahkan kakiku masuk kedai kopi, aku melihat pemandangan yang tak biasa.
Kulihat ada 5 orang yang kurasa adalah barista dan pelayan kedai sedang
menenangkan wanita tua yang gemar menangis dan satu pria berdasi yang kutebak
sebagai pengelola kedai kopi berdiri dengan agak menjaga jarak dengan wanita
tua itu dan memandangnya dengan wajah sinis dan agak kesal. Kulihat lengan wanita yang gemar menangis
berdarah dan di sisi lain meja telah tergeletak silet dengan bercak darah di
permukaannya.
“ Mohon maaf nyonya, jika nyonya hendak mengakhiri
hidup nyonya atau hendak berbuat kriminal, tolong, jangan
melakukannya di kedai ini.
Saya tidak ingin kedai yang saya kelola bertahun-tahun ini, reputasinya merosot
hanya karena ada orang yang bercita-cita ingin mati di ruang publik.” kata pengelola
kedai dengan kasar. Selepas pengelola
kedai itu kembali ke ruangannya, para barista dan pelayan kembali ke posnya
masing-masing dengan wajah seolah tidak terjadi apa-apa sedang wanita tua itu
kulihat masih terguncang entah dengan apa yang dialaminya atau karena ucapan si
pengelola kedai.
Aku coba untuk mendekatinya, aku tarik kursi lalu duduk di depannya.
“Permisi nyonya.” Kataku. “Perkenalkan, namaku Toni.
Aku pelanggan baru kedai kopi ini, ya baru seminggu ini aku rutin mampir untuk
sekedar melepas penat dan pikiran. Dari pertama aku datang ke kedai kopi ini, aku selalu melihat wajah cantik nyonya ini telah berhiaskan air mata. Maaf, bukannya
aku lancang. Aku hanya mencoba untuk peduli, sebenarnya apa yang terjadi padamu
nyonya?”
“ Manda, panggil saja Manda.” Kata wanita tua itu.
“ Ah astaga, maaf aku lupa menanyakan namamu nyonya
Amanda. Maaf, aku tidak biasa memanggil orang tua hanya dengan namanya saja. Baik,
kau bisa lanjutkan menjawab pertanyaanku nyonya?”
“ Kucingku mati.”
“ Sungguh hanya itu? Ayolah nyonya, jujur saja, anggap
aku sahabatmu sekarang sehingga kau bisa bercerita apapun yang membebanimu
selama ini.”
Hening sejenak. Ia nampak menarik napas. Mungkin agar lebih tenang.
“ Kucingku mati, suamiku mati karena kecelakaan.”
“ Ah, aku turut berduka cit….”
“ Kucingku mati, suamiku mati, tak lama kudengar ada
bencana di ujung negara ini, kejahatan merajalela, kelaparan di mana-mana,
korupsi makin menjadi, harga diri bangsa diinjak-injak, intoleransi makin
berkembang, dan kau tahu apa yang lebih parah dari itu semua hingga membuatku
menangis berminggu-minggu? Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang peduli dengan
masalah yang kusebutkan tadi. Jika tidak ada yang peduli dengan tangisanku
berminggu-minggu disini, apalagi dengan masalah yang kusebutkan tadi? “
Aku
tersentak. Ia mengucapkan kalimat itu dengan emosi yang meluap-luap hingga
badannya gemetar dan kulihat matanya berkaca-kaca. Namun nampaknya emosi yang
meluap itu belum cukup untuk membuat para pengunjung ataupun pelayan setidaknya
menatap ke arah meja kami.
“ Baik nyonya, itu berarti kau menangisi keadaan
bangsa ini?” Tanyaku.
“ Aku menangisi ketidakpedulian bangsa ini.”
“ Oke, baik, itu yang membuatmu menangis. Lalu apa
yang membuatmu ingin bunuh diri hari ini?”
“ Aku lebih baik mati daripada hidup di kerumunan
mayat-mayat hidup.”
Aku lihat matanya kini menatapku dengan tatapan yang
sendu, tangannya perlahan bergerak hendak menggapai tanganku.
“ Nak, kau satu-satunya yang masih peduli. Tetaplah
peduli nak.” Katanya .“ Nak, maukah kau besok kembali lagi ke kedai ini?”
“ Tentu nyonya, tentu. Aku akan tetap peduli pada
apapun dan aku akan ke kedai ini lagi esok hari.”
Wanita itu kembali menangis, tapi kali ini dengan
senyum. Wajahnya nampak sangat berbeda dari pertama kali aku melihatnya.
Jejak cantiknya sewaktu ia muda jelas terpancar saat itu. Nampak ada harapan
baru yang kini mulai tumbuh pada diri wanita tua itu.
*******
Hari
setelah ia mencoba membunuh diri, aku tidak menemuinya. Aku
hendak menemuinya, namun sesuatu terjadi pada mobilku hingga aku memilih
langsung pulang ke rumah dengan menaiki kendaraan umum. Sedangkan mobilku aku
tinggalkan di bengkel. Hari ini aku akan mengganti janjiku yang kemarin belum
aku lunasi.
Baru
sampai di ambang pintu, aku disambut oleh pria tua yang mampu membaca pikiran
yang sedang duduk di meja tepat di samping pintu masuk.
“ Hai nak, jika kau mencari wanita tua itu kau akan kecewa bahkan munmgkin akan
menyesal.” Katanya.
“ Maaf, apa yang sedang anda bicarakan?”
“ Wanita tua itu kemarin bunuh diri, mungkin ia putus
asa karena tidak ada lagi orang yang peduli dengannya. Semua orang disini sudah
terlalu malas mencegahnya. Pengelola kedai pun begitu. Ia lebih memilih untuk
mengurus jenazahnya dengan menelepon ambulans dibanding mencegah wanita itu
untuk bunuh diri dengan menelepon polisi. Hufftt, kasihan juga wanita itu kalau dipikir-pikir. Ia mati karena terlalu peduli.”
Aku
tersentak. Tubuhku lemas seketika. Kakiku kehilangan tumpuannya. Tak lama, aku
terjatuh dan tidak sadarkan diri. Kalimat yang terakhir aku dengar waktu itu
ialah, “ Ah, lihat, satu orang lagi nampaknya akan mati karena terlalu peduli.”
Lalu terdengar riuh tertawa pengunjung kedai.
Aldiansyah Febrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar