Mengurai jejak generasi sebelum
munculnya kamera … untuk periode yang panjang, kita akan melihat bagaimana
politik regenerasi dibentuk oleh perang maupun kondisi-kondisi yang militeristik
sebagai bandul utamanya. Baru setelah itu, sains dan teknologi mulai menjadi
pusat penanda terbentuknya sebuah generasi.

Jakarta kembali merayakan kesenian.
Pameran: “Lorong Waktu Gen-Z” 19 sampai 27 November 2018, lobby Teater Kecil, TIM. Bagian dari acara
Festival Teater Jakarta yang diselenggarakan Komite Teater Dewan Kesenian
Jakarta, didukung Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi DKI Jakarta.
Plastik vertikal tebal setinggi dua kaki
menjadi pintu masuk lorong waktu. Batang neon di langit-langit menjadi nuansa
sekaligus penuntun ke ujung lorong. Lorong diapit oleh papan memanjang
kanan-kiri. Waktu diimajikan menjadi 42 kertas di atas bingkai persegi panjang
berderet bolak-balik ujung ke ujung.
Jejak pertama dimulai dari gambar Perang
Napoleon. Penggambaran perang yang masih menggunakan senjata pendek,
mementingkan jumlah pasukan, bergantung pada cuaca, serta percaya pada mantra
dan doa. Kemenangan adalah representasi atas dewa, tuhan, surga, kekuasaan, keperkasaan,
dan kepahlawanan. Lorong waktu pertama diakhiri dengan dramaturgi: Gunung
Tambora yang meletus. Kemudian muncul seni sebagai anti-klimaks yang masih
meyakini imaji sebagai keagungan, bayangan, the
other.
Kronologi kedua diperankan oleh Perang Dunia I
sebagai Generasi GI. Perkembangan senjata jarak jauh, dramaturgi menjadi lebih individualis:
depresi, formalitas, keseragaman, krisis ekonomi dan kemunculan media-media
baru seperti kamera, mesin tik, dan pita film.
Kemudian dilanjutkan dengan Generasi Silent yang direpresentasikan dengan
foto-foto perang Dunia II, berakhirnya kolonialisme atas Indonesia, dan media-media
yang semakin berkembang: telepon kabel, komputer, televisi. Makna identitas
mulai bergeser dan memberi prioritas pada tubuh-ideologis dan tubuh-nasionalis.
Dramaturgi menggeser perspektif modernisme dari sosialisme Eropa ke kapitalisme
Amerika: depresi pekerja keras, rasisme, nasionalisme pascakolonial, dan trauma
pasca perang. Menampilkan rasisme sebagai wujud ruang baru: peta pascakolonial
dan gelombang migrasi sosial-politik.
Gambar “bapak dan bapak” saling memagut bibir
(menghisap; bersilat lidah) bertuliskan “MEIN
COTT. HILF MIR. DIESE TODLICHE LIEBE ZU UBERLEBEN” adalah pilihan gambar
untuk lorong waktu ketiga: Perang Dingin, atau yang juga disebut sebagai Generasi
Baby Boomers. Kebebasan, idealisme, dan
profetisme adalah identitas baru. Kemunculan musik konkret dan elektronik hasil
otak-atik perlatan komunikasi bekas perang, video art, dan gerakan Fluxus
merupakan perkembangan seni pada masa ini. Dramaturgi menjadi lebih kompleks:
hak-hak sipil, women’s liberation, eksplorasi
kesenian dan teknologi. Masa ini mengembangkan media-media baru seperti kartu
pos, telegram, dan mesin fotokopi.
Masih dalam lorong waktu ketiga, perang
Vietnam-Watergate mengawali kemunculan Generasi X. Meliputi jatuhnya orde lama,
Suharto berkuasa, bahasa Indonesia disempurnakan, bom minyak, hutang
internasional, serta peristiwa malari untuk perubahan kekuasaan maupun pasar.
Militeristik, pegawai negeri vs pegawai swasta, amatir vs profesionalis, formal
vs informal, individu vs negara, skeptis terhadap otoritas adalah identitas dari
Generasi X. Serta kemunculan seni pop. Dramaturgi
yang dominan: G30S vs GESTOK, subversif: sipil dan demokratisasi, budaya baru:
pandangan sejarah satu arah, dan anarkisme.
Kronologi empat berisi Generasi Milenial:
komputerisasi, globalisasi, AIDS, berakhirnya perang dingin (25 Desember 1991).
Dramaturgi berupa keuangan internasional, perusahaan transnasional,
supranasional Uni Eropa (1992), krisis ekologi, sejarah sebagai “jejaring
makna” (evakuasi dan trauma totaliterisme), postmodernisme sebagai upaya untuk
membaca ulang kegagalan modernisme.
Kemudian dilanjutkan dengan Generasi Z yang
direpresentasikan melalui beberapa gambar: warga digital, revolusi industri 4.0,
perang teluk, reformasi 1998, penyerangan World
Trade Center di New York City, Arab spring,
editing genetic, neuroteknologi, digital
economy, artificial intelligence, big data, kriminalisasi rakyat miskin
kota, pelanggaran HAM atas minoritas peranakan Cina, migrasi peranakan Cina,
desentralisasi pemerintahan ke otonomi daerah, Timor Timur melepaskan diri dari
Indonesia menjadi Timor Leste, serta Islam dan isu terorisme sebagai bandul
politik global.
Lorong waktu empat memberi gambar bibir John
Lenon yang sedang memagut bibir Yoko Ono sebagai lambang perdamaian; multikultural;
dan cinta. Media berkembang dengan kemunculan headset yang dimaknai sebagai berakhirnya “kuping massal” dan
“mulut berteriak”; e-banking;
spionasi digital; media sosial; radikalisasi tubuh. Dramaturginya berupa multiple platform dan literasi media
(sejarah tidak tunggal).
Secara keseluruhan, Pameran ini ingin
menunjukkan bahwa setiap masa memiliki major
traits dan major event-nya
masing-masing. Manusia telah berulang kali mentransformasi kebudayaan, berulang
kali mencari kebenaran dan membaca kenyataan atas dunia, namun juga berulang
kali mengalami kegagalan. Kemajuan-kemajuan di ranah paling penting seperti
bidang teknologi dan ekonomi pada akhirnya tidak juga mampu menghentikan perang
dan kekerasan. Segalanya bertransformasi, namun juga berulang.
![]() | |||
Pemetaan konsep Afrizal Malna. Display pameran oleh Budi Renil. |
-Diniwai
⚡⚡⚡
BalasHapusKreatif! Suatu konsep yang unik dan menarik yang tidak hanya sebagai media Napak tilas tapi juga memberi gambaran secara mendalam tentang bagaimana pola pikir manusia berkembang.
BalasHapusAkan lebih menarik jika perkembangan bentuk2 perlawanan "bawah tanah" yang memiliki peran dalam transisi antar kronologi juga ikut diekspos. Sebagai contoh dari segi subkultur, bagaimana "punk" lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap proletar London, dll, dll.
Maju terus bengkel sastra 💪
Terima kasih atas apresiasinya.
Hapus