Bagi Teater Koma, konsistensi adalah
kunci. Ratna Riantiarno rupanya tak sekadar
mengucapkan kalimat itu, terbukti dari perjalanan Teater Koma yang sudah
mencapai tahun ke-41 dengan 154 pementasan. Setelah sukses membawakan lakon Gemintang
tahun lalu, kali ini Nano kembali menyertakan kisah para Dewa dalam
pertunjukannya. Sejak tahun 1978, Teater Koma mementaskan cerita tentang
Dasamuka dengan judul Maaf.Maaf.Maaf., ada juga Semar Gugat (1996),
Republik Bagong (2001), Republik Togog (2004), dan yang lainnya.
Lakon Mahabarata sendiri bersumber
dari buku Mahabarata Jawa yang sudah diterbitkan oleh Grasindo pada
September 2016. Akan tetapi dalam pertunjukannya, Nano hanya menggarap Episode satu:
Kitab Satu: TIGA DUNIA. Episode satu memuat empat kisah, antara lain: Dari
Yang Kosong, Manikmaya, Semar dan Togog, dan Garis Dewa.
Dipentaskan di Graha Bhakti Budaya,
Taman Ismail Marzuki, pementasan yang diberi tajuk Mahabarata: Asmara Raja
Dewa ini berlangsung selama sepuluh hari dimulai tanggal 16-25 November
2018. Seperti penyaduran kisah Mahabarata Jawa lain, kisah yang bercerita
tentang Para Dewa dan penciptaan manusia ini tidak melupakan ajaran moral Jawa
yang menjadi intisari kisah.
Bersama Teater Koma, Nano
menceritakan tentang penciptaan tiga dunia oleh Hyang Wenang yaitu (1)Mayapada yang merupakan dunia kekal yang diisi
oleh dewa-dewi, bidadari, dan apsara-apsari, (2)Madyapada atau dunia gelap yang diisi oleh setan,
demit, jin; dan (3)Marcapada atau dunia wayang. Untuk
mengisi kekosongan Mayapada, diciptakan Hyang Tunggal yang menikah dengan Dewi
Rekatawati. Ia menurunkan sebutir telur dan berkat kuasa Hyang Wenang, empat
orang Dewa lahir dari telur itu. Mereka adalah Antaga yang lahir kulit, Ismaya
yang lahir dari putihnya, Manikmaya dari kuningnya, dan Manan dari ari-ari..
Permasalahan dimulai ketika mereka
berempat mulai berseteru mengenai siapa yang lahir terlebih dahulu. Mereka
berkelahi dan karena perkelahian itu, Antaga, Ismaya, dan Manan berubah menjadi
buruk rupa, sedangkan Manikmaya dinobatkan sebagai ahliwaris Tunggal yang
menjadi Raja Tiga Dunia yang kemudian disebut Batara Guru.
Selebihnya adalah cerita tentang
bagaimana Batara Guru menjaga kedamaian Tiga Dunia dari gangguan setan, demit,
dan mahluk halus lainnya, dan bagaimana hubungan asmara Batara Guru yang sering
tak mampu menguasai nafsunya sendiri sehingga Tiga Dunia terancam musnah.
Cerita diakhiri dengan perkawinan Batara Kala dan Gading Permoni, keduanya
adalah raksasa yang kelak akan menguasai kejahatan.
Salah satu yang membuat Teater Koma
tak tergerus oleh zaman adalah karena mereka terus mengikuti zaman. Terlihat
dari bagaimana Koma mulai bergerak ke arah digital dalam dua pementasan
terakhirnya. Tak heran kenapa Koma tak pernah sampai titik.
-Tiyas Puspita Sari-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar