![]() |
A Setyo Wibowo, Agustina Kusuma Dewi, Wawan Ichwannuddin, dan Arkan Tanriwa (dari kiri ke kanan) |
Bersama
moderator Arkan Tanriwa, diskusi dimulai dengan pembahasan pertama oleh A.
Setyo Wibowo. Setyo Wibowo yang senang dalam dunia filsafat, mengatakan dengan
lugas bahwa perspektif Gen-Z sudah berada dilingkup media sosial. Segala hal
yang dilakukan oleh masyarakat tidak pernah terlepas dari dunia yang
membingungkan tersebut.
Dikatakan
begitu, karena media sosial dapat diibaratkan seperti sebuah jalan tanpa
rambu-rambu yang membingungkan para pengedara. Walaupun membingungkan, tetap
saja mau tak mau pengendara harus menggunakan jalan tersebut.
Berbeda dengan Setyo Wibowo yang
membicarakan mengenai Sofisme dan Media Sosial, pembicara kedua yaitu Agustina
Kusuma Dewi menjabarkan dengan lengkap mengenai Perilaku Warga Digital mengenai
Media Sosial.
Berdasarkan
pemetaan, Gen-Z adalah masyarakat yang lahir sekitar tahun 1994-2009. Yang
mana, dapat dipastikan Gen-Z merupakan generasi yang terbanyak saat ini.
Khususnya di Indonesia sendiri.
Dengan banyaknya sumber daya
tersebut terdapat suatu ironi. Pasalnya, generasi z ialah generasi yang hampir
seluruhnya dilingkup dalam suatu tirani bernama media sosial dan teknologi. Dengan
adanya medsos dan teknologi, tentu saja konten pun terlibat.
“Masyarakat Gen-Z diperkirakan sudah seperti Tuhan. Kita begitu cepat meciptakan konten” ujar Agustin dalam pembahasannya di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.
Agustin pun menjelaskan, warga digital saat ini, ialah warga yang dibentuk dan membentuk kebudayaan online. Sebagai contoh ialah kreativitas dan akal yang digunakan Gen-Z hanya sebatas membuat konten di media sosial. Dari mulai vlog dalam akun You Tube maupun aktivitas sehari-hari dalam akun Instagram. Yang sebenarnya hal tersebut ialah nirmanfaat
Hingga saat ini, Indonesia mempunyai pertanyaan besar untuk menyikapi Gen-z dalam bermedia sosial: mengamini dengan gempita segala kemajuan teknologi atau menunggu kesadaran untuk menjadikan media sosial dengan bijaksana.
Hampir beririsan dengan masalah itu, Gen-Z sebetulnya memiliki masalah yang lebih besar dibandingkan psikologisnya yang masih tertatih-tatih, yaitu pandangan politik. Dengan materi ketiga dari Wawan Ichwannuddin seorang peneliti dari LIPI, Ia mengambil subtema yaitu Membaca Perilaku Politik Generasi Z Menjelang Pemilu 2019.
Pada pemetaan yang dilakukan Afrizal Malna dari berbagai sumber, generasi Z memiliki ciri utama yaitu ketidakpercayaan dalam sistem politik dan bisa menjadi multitaskers. Berdasarkan ciri tersebut, sangat rentan apabila generasi Z menjadi buta perpolitikan. Terutama menjelang Pilpres 2019, mayoritas generasi Z lah yang merupakan pemilih pemula.
Terlebih lagi penggunaan media sosial yang dilakukan generasi Z pun mempengaruhi perilaku politik mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan LIPI, Survei penggunaan internet untuk membaca bacaan politik secara online lebih tinggi dibandingkan menyebarkan kampanye-kampanye politik. Dari data tersebut, minimal generasi Z sudah mau membaca berita terkini dari politik di dalam negeri.
Lagi dan lagi, generasi Z selalu berada dalam dunia yang membingungkan. Pada perpolitikan, mereka cenderung berada dalam ambang rasionalitas. Karena terbiasa dengan paparan gadget dalam lingkup maya, rasionalitas pun dipertanyakan. Bahwa, dapatkah generasi Z melihat secara rasional perpolitikan di negeri ini, terlebih dengan berita dalam lingkup maya yang selalu simpang siur (Hoax).
Diskusi yang dihadiri oleh para
seniman dan akademisi itu pun selesai sekitar pukul 18.00 WIB. Secara
keseluruhan, media sosial menjadi objek utama para generasi Z. Walaupun begitu, Yang terpenting
dalam dunia yang membingungkan tersebut kita harus menjaga rasionalitas. Karena sekali sentil saja, rasionalitas pada diri generasi
Z dapat berada di ambang yang mengkhawatirkan.
Fauziannisa.
Fauziannisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar