Ketika Hujan Reda
Oleh Tiyas Puspita
Sari
[Terinspirasi dari one-shot berjudul A Love Story in
Moist Rainy Days
karya Yamamori Mika]
Aku
akan melakukan hal yang sama dengan hujan. Sama-sama terjatuh untuk menciptakan
genangan penuh kenangan. Setidaknya, itu yang aku inginkan. Tapi jika yang aku
lakukan hanya duduk sambil menatapnya dari balik kaca jendela ini, kenangan
macam apa yang kira-kira akan aku ciptakan?
Aku mendengus agak keras seraya
menjatuhkan kepalaku di atas meja. Mengalihkan pandanganku yang tadinya tertuju
pada objek di bawah sana pada sesuatu yang berada jauh di atasnya, langit.
Agaknya langit memiliki kenangan buruk pada akhir tahun, dia banyak menangis
pada bulan ini. Tapi jika tidak begitu, aku mungkin tidak akan berakhir di
salah satu kursi pinggir jendela yang berada di lantai tiga perpustakaan kota
ini.
“Lagi? Sampe bosen kakak liat muka
kamu, tau?”
Dan tentunya, aku juga tidak akan
mendapat omelan dari perempuan berambut sebahu yang kini duduk di hadapanku
itu. Adinda namanya, dia kakak perempuanku dan dia adalah orang yang paling
tergila-gila pada buku yang aku tahu. Dia yang seorang dokter itu sampai rela
membagi waktunya untuk bekerja menjadi seorang penjaga perpustakaan setiap
akhir pekan. Dan entah ini sudah menjadi akhir pekan yang ke berapa dia
mendapati aku duduk di sini, hanya ditemani dengan satu cup kopi berukuran sedang, tanpa buku apa-apa, dan dengan pandangan
lurus pada satu objek di bawah sana.
“Lagian sejak kapan sih kamu jadi
maniak perpustakaan?” tanyanya lagi, kali ini dengan kedua tangan terlipat di
depan dada.
Aku mengoper retinaku dari wajahnya
ke arah objek kesukaanku. “Sejak,” kalimatku terpotong ketika salah satu
bibirku terangkat otomatis, “Nanta sadar kalau di tempat ini ada peri kebun?”
aku kembali menatap kakakku, kali ini dengan pandangan geli yang dibuat-buat.
“Ananta!” dia mendesah kesal.
Bagaimana tidak, ini sudah kali entah ke berapa kakakku bertanya hal yang sama
dan ini juga kali yang sama aku tidak pernah dengan serius menjawabnya.
“Kepo banget sih, lagian.” Kataku
seraya berdiri. Ini sudah saatnya bagiku untuk turun, karena sepertinya hujan
juga akan segera turun. Ah, seandainya aku bisa menyapa peri kebun itu seperti
hujan yang tanpa ragu bisa menyapa tanah setiap kali ia datang.
Sial. Sepertinya aku terlalu
melankolis sebagai seorang laki-laki.
Aku meraih payung lipatku dan hendak
berjalan pergi ketika suara Adinda menghentikan langkahku. “Ini juga, kenapa
bawa payung terus, sih? Kamu kan bawa mobil?”
Aku terkekeh pelan sebelum mengangkat
bahuku pelan. “Ibu yang minta. Katanya harus selalu sedia payung sebelum
hujan.” Jawabku yang langsung diikuti dengan derap langkah menjauh.
“Sejak kapan kamu—“
Kakakku itu tidak melanjutkan
ucapannya karena kali ini aku tidak lagi menoleh dan hanya terus berjalan
sambil mengangkat tangan dan melambai padanya tanpa berbalik.
Sebenarnya, aku punya alasan kenapa
aku selalu membawa payung setiap datang ke sini. Dan, tentu saja, alasanku itu
sama sekali tidak ada hubungannya dengan ibuku.
Ngomong-ngomong, objek kesukaanku
itu bukan peri kebun. Tapi, dia memang seperti peri—peri yang aku bicarakan
adalah paradigma semua orang tentang bagaimana sosok fisik peri terlihat.
Indah. Kulitnya seputih kue salju buatan Ibuku setiap hari raya. Dan melihat senyumnya
membuatku merasa seperti memakan kue itu. Manis sekali. Rambutnya hitam legam,
panjang, dan selalu ia biarkan terurai. Kontras dengan warna bibirnya yang
merah merona. Cukup tinggi untuk seorang perempuan dan tubuhnya kurus, terlihat
rapuh ketika dikeroyok oleh tetesan air hujan. Seperti saat ini.
Mereka bilang namanya Diana—aku
cukup lega mendengarnya, kalau saja namanya Mariposa, aku mungkin akan
benar-benar percaya kalau dia seorang peri—dan dia selalu berada di taman
belakang perpustakaan kota tempat kakakku bekerja ini. Setiap hari. Aku tidak
tahu jam berapa dia datang, dia selalu sudah berada di sana setiap kali aku
sampai. Dan dia tidak akan pulang sebelum sang surya tenggelam.
Aku sudah tertarik pada Diana sejak
kali pertama aku melihatnya. Saat itu hujan cukup deras, dan kakakku memintaku
untuk menjemputnya. Kalau saja aku tahu akan melihat Diana saat itu, pasti aku
tidak akan malas. Tapi aku tetap datang, dan saat itu lah aku melihatnya. Tidak
seperti semua orang yang berlindung agar tidak saling sapa langsung dengan
hujan, dia malah berdiri di bawah buliran bening yang menyerangnya itu. Seolah
menantang. Dan dia menangis. Dengan bibir terbuka lebar seolah tertawa, aku
melihat ada bulir bening lain yang jatuh di wajahnya, bermuara di sudut matanya.
Tetapi tersamarkan oleh tangisan lain yang dijatuhkan awan. Mungkin dia pikir
tidak akan ada yang menyadarinya. Tapi, dia salah. Aku melihatnya. Sejak saat
itu sampai sekarang.
Aku berdiri di bawah pohon yang
cukup besar untuk melindungiku dari hujan deras. Memfokuskan pandanganku pada
Diana yang tengah melakukan ritualnya, menangis di bawah hujan dengan ekspresi
bahagia.
Aku telah membulatkan tekad untuk
menyapanya hari ini. Setidaknya, dia harus tahu kalau aku ada di dunia ini.
Selama dua menit empat puluh lima detik pertama, aku bergeming di tempat. Entah
karena merasa risih diperhatikan atau penasaran, Diana berbalik dan membalas
tatapanku untuk beberapa detik. Membuatku terpaku dan kikuk setengah mati.
Jauh di luar dugaanku, perempuan
yang tadi berdiri beberapa meter di depanku itu mempersempit jarak di antara
kami. Dia melangkah maju dan berdiri tepat beberapa langkah di hadapanku.
Membuatku gugup bukan kepalang.
“Ah,”
Katanya seolah menyadari sesuatu, membuat alisku mengkerut. “Ternyata lelaki
dari lantai tiga.”
Iya, ini aku.
Tunggu.
Apa?
Dia tahu?
Dia tahu aku memperhatikannya selama
ini?
“Aku Diana.” Katanya mengulurkan
tangan kanan yang sudah pucat dan keriput pada ujung-ujung jemarinya.
Meskipun tahu kalau tangannya akan
sedingin es batu, aku tetap menyambut uluran tangannya seraya meremasnya pelan.
“Ananta.” Jawabku singkat. Agak serak. Apa-apaan? Kenapa malah aku yang gugup?
Ayolah, bertingkahlah sebagaimana mestinya. Seperti seorang lelaki sejati.
Dia manggut-manggut setelah tangan
kami terlepas.
“Sini,”
Kataku sambil menatapnya, yang dibalas dengan alis hitamnya yang terangkat.
“Berteduh. Kamu bisa sakit kalau terus hujan-hujanan gitu.”
Dia tertawa pelan. Aku tidak bisa
mengartikan itu jenis tawa apa. Lagipula aku tidak peduli.
“Kapan kamu berhenti, Diana? Kapan
kamu akan berhenti dari situ?” aku kembali membuka mulutku karena tidak
mendapat jawaban.
Perempuan itu menatapku lurus-lurus
dan tersenyum penuh arti. “Nanti. Ketika hujannya telah reda.”
“Kenapa?” lagi, aku bertanya.
“Kenapa, kenapa?” dia balik
bertanya.
“Kenapa menangis?”
Dia kembali tersenyum. Terlihat
seperti sebuah senyuman yang lirih. Perempuan itu mengalihkan pandangannya
dariku dan menatap langit. “Biasanya orang menangis karena bahagia atau sedih,”
Dia terkekeh. “Menurutmu, aku yang mana?”
Aku menghembuskan nafas cukup keras.
Dia tidak serius menjawab pertanyaanku.
Menyadari ada kekesalan terpancar
dari raut wajahku, Diana malah kembali tersenyum. Aku baru tahu ternyata dia
orang yang banyak tersenyum.
“Kalau aku memberitahumu kenapa,
apakah kau akan berhenti melihatku dari atas sana?” katanya sambil menunjuk ke
atas, tepat ke tempat di mana aku biasa duduk dan memperhatikannya.
Tidak, batinku.
“Mungkin.” Tapi justru itulah
jawabanku.
Setelah menatapku selama beberapa
detik dalam hening, Diana mulai berbicara. “Karena hanya dengan berdiri di
bawah hujan, aku merasa kembali bersamanya.”
Keningku berkerut, “Siapa?”
Terdengar helaan nafas Diana sebelum
dia menjawab pertanyaanku. “Kekasihku.”
“...”
“Dia pergi ketika hujan dan dia
tidak pernah kembali.”
“...”
“Sekarang, kau boleh pergi. Dan
tidak perlu datang untuk melihatku lagi.” Katanya seraya berbalik dan kembali
ke tempat asalnya—sebelum dia menghampiriku dan mengajakku bicara.
Aku sendiri masih beku di tempat.
Ini semua benar-benar di luar ekspektasiku. Dan tanpa alasan pasti, dadaku
sesak. Seolah ada beban besar menghimpit paru-paruku, aku merasa kesulitan
bernafas.
Diana menoleh, menatapku dengan
tatapan yang lagi-lagi sulit untuk aku artikan. Yang pasti, dia tahu kalau aku
tidak berniat pergi dari sini seperti apa yang dia minta. Perempuan itu kembali
menatap ke depan, memunggungiku. Dan kembali menangis, kurasa?
Setelah menarik nafas cukup panjang
dan menghembuskannya perlahan, aku membuka payung lipat hitamku.
Lalu, hujan yang sedari tadi
berlomba-lomba untuk menghantam tubuh rapuh peri kebun-ku tidak bisa lagi melakukannya. Karena saat ini, tepat dua langkah
di belakangnya, aku berdiri sambil menggenggam erat payung yang selama ini selalu
aku bawa karena alasan yang sama. Untuk melindungi perempuan itu. Menaunginya
agar dia tidak harus berhadapan dengan hujan lagi.
Meskipun membelakangiku, aku tahu
Diana menyadarinya. Karena untuk sepersekian detik, untuk waktu yang sama
dengan kedipan mata, tubuhnya berubah kaku. Tetapi perempuan itu tetap
bergeming tanpa mengatakan apa-apa.
Setelah menggaruk tengkukku yang
sebenarnya tidak gatal, aku berdeham pelan. “Aku rasa kekasihmu tidak akan
senang kalau kamu sakit.”
Sore itu, aku berdiri di tengah
hujan. Menemani Diana dan kekasihnya sampai hujan berhenti.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar